Sabtu, 20 Desember 2014

.........


masih terbayang dengan jelas
begitu nyata di depan mata
ketika itu
tak satu mahluk telah mencapai
8.400.000 kehidupan dilalui
kita menyusu pada tanah
kita berserah pada air
kita mengapung lembut
ketika itu
bumi ini hijau subur
padang savana bernyanyi
angin mengacungkan jerami
abad saling bergulir
gunung-gunung berdentum
dan bukit-bukit longsor
kehidupan tengah dibaharui
penghidupan tengah dibenahi
ketika itu
kita bergantian membunuh
tapi tak menyakiti
begitulah alam memberi
kita bergantian bertumbuh
tapi saling berbagi
begitulah alam mengasihi
bumi tak pernah menua
bunga-bunga mekar
lebah dan kupu menari
bagi bumi
menunggu kita hadir
kepanjang tangan Ilahi.


A/J  2014

Minggu, 30 November 2014

DI WAJAHMU


Di wajahmu bulan menatapku seperti abadi
Menari di ujung jemari meski sendiri
Terangmu meliuk di antara gang-gang sempit
Di Jatipadang, mengapung di genang banjir.


Di wajahmu bulan membisikku seperti kenari
Menyiulkan lagu sepi di sepanjang detik
Sepasang pengamen menyanyikan lagu kenangan
Kata-kata jadi diam dan monitor jadi putih.


Di wajahmu bulan melambaiku mau pamit
Jendela kamar kubiarkan melompong
Sambil tergolek dan buku di tangan kukerling
Kau tak ada di sana, silau mentari mengusirmu.


AJ/2014

SALJU AWAL DESEMBER


ketika angin kencang musim gugur menerbangkan dedaunan kering
kau serahkan buku puisi "Une Saison en Enfer" karya Rimbaud

di senangku kukecup pipimu dan kau tegakkan leher jaketku
saat itu salju pertama bulan Desember menerpa wajah kita.

seulas senyum di bibirmu, lantas kau dekap erat dadaku
langit cerah, burung-burung bergerombol di dahan-dahan gundul

alam telah menciptakan kehidupan baru, kebiasaan baru
"kita bakal sering minum anggur," tentu setelah sinau di ruang kuliah.

masih kusimpan di ingatan musim dingin tahun lalu
salju pertama dalam hidupku yang kautimpukkan disertai renyah tawa

lalu kau dan Alain bawakan aku sepasang sepatu bot berbulu
kalian dandani seorang anak khatulistiwa lalu diserahkan kepada alam.


AJ/2014

DAN WAKTU PUN TERDIAM


Dari tatapmu rindu menghambur ke dalam ceruk
Air matamu mengisinya dan ikan meliuk-liuk berenang
Mendung mengusap duka di wajahmu yang merambat
Menziarahi doa-doa di pelataran awan lalu meringkuk.


Kesedihan adalah awal rupa yang direnda ke segala arah
“Jangan tanya rompi atau sweeter,” jemarimu menarikan hari
Maka kugenapi rejeki hari ini dengan syukur dan senyummu
Dentang dari gereja tua mengiringi hangat kopi petang.


Gulita mengintai di halaman, menunggu depan jendela dan pintu
Ruang ini terang oleh binar matamu dan api lilin yang menari diam
Aku tertegun merasakan waktu yang diam, lonceng bandul yang diam
Aku senyum dan menebak, beginilah keabadian di surga kelak.


Manis cherri di ujung lidah mengundangku ke dunia masa lalumu
Pohon di tepi halaman itu cerita tentang angin dan musim di sini
Juga seputar dirimu yang hilang muncul di rindu kerabatmu
Mungkinkah kau lari dari pelukan nasib dan karma yang pasti.


“Selalu ada yang lain di antara kita,” kau memotong keju bau kaus kaki
Yang paling kusuka di tiap makan malam. Aku merasa waktu menunggu
Dengan cemburu. Tapi kita tak pernah tergesa saling memasang cincin
Dentang menggema lagi menawarkan mimpi di bantal-bantal kita.


AJ/2014

SUATU KETIKA


Suatu ketika, saat itu bumi mengapung tak tentu
Terang di mana-mana meski tak ada sumber yang pasti
Kegelapan belum lahir namun takut pada yang jahat sudah
Menggelitiki syaraf dan memancing mata jadi awas.


Tiba-tiba bumi menyeruak ke dalam perut tapi terang
Berdiri di luar menanti dengan setia karena ia belum dikenalkan
Pada ketiadaan dirinya
Tak ada bimbang ketika damai tergelar lepas.


Tiba-tiba angin menghantam tubuh hingga terhuyung
Gempa menggelepar menarikan geraknya yang lembayung
Laut tergoncang, samudera tumpah menyerbu rumah-rumah
tumbuhan berbagai rupa menyembul di pori-pori tubuh.


Dan segala jenis hewan berlompatan dari lubang mulut
Telinga, dan dubur dan kemaluan membawa lari sifat-sifat mereka
Bersama air mata yang meleleh segala jenis ikan menghambur
Menyertai para perempuan ke perigi, empang dan lubuk.


Maka sejak dulu itu, ketermangguan menjadi bagian perciptaan
Tapi diam bukan melamun dan memimpikan bayangan belaka
Rasa lapar dan haus menuntun pada pencarian dan berbagi
Atau saling menatap dan memandang titik hujan jatuh di tanah.


AJ/2014

Senin, 24 November 2014

J A R A K

Sebentar lagi desember
saat kita canda dengan salju
saling timpuk seperti cinta kita yang kanak
tangan saling mencekal ketika kaki menjejak
di bukit timur kota Dijon.



Di muka perapian ada remah roti dan sisa keju
dan sedikit anggur merah di gelas-gelas berkaki
“waktu tak pernah berhianat pada kita, kekasih”
tapi di keretak kayu terbakar
kau mendesah dan tetap mengeluh
“lajunya yang mengendap dan merenggangkan jarak
diam-diam mengubur semua kenang di pelatarannya. »


Ketika menambahkan kayu, malam makin genap
hangat ruangan mengembalikan waktu ke jalurnya.


Meski tanpa mentari kilau salju pagi ini berbagi
terang seperti buat kita berdua, kekasih
ah masih ada tawa dan cerlang wajahmu
berserah pada kerut-merut yang makin nyata
“ya kita berserah, melarung semua harap di arusnya
berkaca pada Seinne, Serayu atau Mahakam.”


Sesaat lagi kutinggalkan kotamu
sebentar lagi kau akan sendiri dililit jemu
“tapi kita tak pernah dipisahkan oleh jalan, kekasih
percayalah meski arah dan jalur meminta langkah
dari bukitmu doa-doa mempersatukan mimpi-mimpi
kelak waktu akan membujuk jarak buat kita
dan pada umur kita harus mempercaya.”


AJ/2014

P E R G I


tak ada lagi jejak kita di dangau ini
wangi tubuhmu masih mengendap di sini
ada semut berbaris membawa sisa nasi
mereka tak bertanya ke mana pergimu.


padi mengeluarkan bulir-bulir hijau kini
sebentar lagi burung pipit menyambangi
saat itu menguning dan ranum berisi
mereka sibuk sendiri tak peduli adamu.


di bukit ini harapan dikubur di sela kabut
di desir lembut angin di bulir padi saat pagi
hati makin bertalu tapi kau enggan berbagi
mungkin sejak lama kau pupuk niat itu : pergi.


AJ/2014

KENANGAN


hari makin redup sebentar lagi Paris berhias cahaya
dan cinta kita menari samba di atas sungai Seine, Isabelle
wajahmu yang pucat bercerita tentang bukit di selatan
cemburu pada pantulan lampu di sepanjang tepian
di biru matamu diam-diam kusembunyikan hatiku.


di awal musim gugur kulewatkan di kotamu
di teras sebuah café selembar daun gugur di atas meja
seperti mau pamit sedang angin bertiup makin kencang
“Kusimpan daun ini dalam buku,” kau bersungguh
“Kelak ada jejak di lembaran itu tentang kita di sini.”
biru matamu makin cerlang dan kau mengangguk
angin seperti ikut mengiyakan mengirim daun-daun kering.


di Dijon tercium wangi anggur dari bukit-bukit
kau gambar cintamu di baris-baris buku catatan
malam makin mendesak agar kita menuntaskan cinta
sebelum kereta pagi membawaku ke Paris.


AJ/2014

PUISI YANG KAU PINTA


Beri aku puisi, pintamu
Di antara denting piano yang mengetuk dinding
Senyum yang menari-nari di atas tuts
Tiba-tiba aku ragu menuliskannya.
Puisikah atau kata atau rima
Serupa mercu suar di tebing tanjung
Dalam kegelapan menyuarakan sebuah irama.
Kau pasti tahu, pena itu adalah diriku
Dan darah hari kujadikan dawat buat bertutur
Berkisah tentang laparku dan lelah
Kaki berkeretak di debu jalanan kota.


Inginku serupa kenari yang tahu pintamu
Seribu cericit gugup di paruhnya
Menyemai harap kian ranum
Tapi di titik itu aku mematung dan kelu.


AJ/2014

H A U S


ada percik air jatuh di kepala dan harum tanah
di pertigaan Jatipadang jalan mulai lengang dan senyap


ranting-ranting basah berbagi tetes kesegaran. di pucuknya
disapanya haus dan laparku yang berdendang seharian.


tirai rinai melayang turun hingga penghabisan. di mata pejam
terbayang jalan, rumah, sawah-ladang berpesta basah.


bumi yang menyusu pada alam selalu bawa kisah
di keteduhan tepi jalan tapi kenapa tenggorokan ini
sudah tujuh mata air berebut menawarkan kelegaan
haus malah kian mencekik meminta air yang tak ada
telah lewat hujan setelah tujuh kemarau leher tak juga basah
haus bersimaharaja tak henti menyeret tubuh
merayap ke tujuh tepian telaga dan tujuh tasik.


Bunda masih basahkah desa kita dan menebus dahagamu?
[aku diam-diam mengurai haus paling laknat ini]
aku ingin mandi di bawah hujan dan kau menyiapkan handuk
dan senyum dan sepasang tangan yang memupus haus.


AJ/2014

BUKAN NGENGAT


Angkasa perlahan pucat seperti sungkan
Seiring subuh denting bergemerincing tak putus
Ribuan jalan yang meliuk-liuk mendadak lurus
Ada rasa hormat yang sulit dikatakan.


Sepenggalah di atas legam tubuh yang meranggas
Langit retak-retak serupa cangkang telur
Awan menggumpal sebesar bukit sekeras gunung
Jalan-jalan menjadi rata, terjal tanjakan pun lenyap


Ini bukan sulap, tidak pula mukzijat
Kisah-kisah sudah mencatatnya begitu
Seribu langkah, seribu jalan dan arah baur menyatu
Seribu pejalan menggumam doa, syukur dan serapah.


Dzikir di bibir melampaui sayap malaikat
Ada sosok tersenyum dan cahaya menuntun
Perjalanan menumbuhkan sayap di kaki dan sekujur tubuh
Ini bukan upah, tidak pula pahala tercurah.


Sejak awal seyogianya cengkeram erat
Sebelum kaki lemas lumpuh dan mata rabun
Tapi memang sulit buat perjanjian dan dirimu yang rapuh
Perjalanan ini tak teruntuk seekor ngengat.


AJ/2014

Selasa, 30 September 2014

TERIMA KASIH


terimakasih untuk tiap derai tawa
yang kau lukis di bibir ini
aku pun dapat berbagi hari.

terimakasih untuk tiap tetes airmata
bersamamu ia menari di pipi ini
aku pun rasakan hangat ciumanmu.

terimakasih untuk tiap kata dalam puisi
di kedalamannya kau labuhkan hati ini
aku pun berpesta di teduh sela musim.

: terimakasih kau menerima terimakasihku.


AJ/2014

LANGKAH YANG TAK LELAH


tiup lilin itu
padamkan saja semua lampu
tak ada lagi gelap itu
mentari termangu di pintumu dengan sabar
meronce segudang cerita di halaman dan jalan-jalan
akan dikalungkan di kakimu
bergemerincingan di tiap liku jalan.

datang lagi pula puisi itu
serupa cermin berkicau di hatimu
menyanyikan kata yang menjebak
dan menyeret ke dalam pusarannya
kau malah menari
di tiap tetas keringatmu
mundar-mandir melayari rahasia itu.

: aku langkah yang tak lelah itu.


AJ/2014

KEPADA KEKASIH


telah kau genapi kasihmu
pada tarikan napas terakhir
ketika harap tak ingin lepas
: pagi menuntunmu pergi.

dalam diam kuasah terus pisau
agar tumpul dan karat tak singgah
hasratku memeluk tandas hatimu
: kuingin cinta seekor merpati.

waktu yang memisah makin merekatkan
jarak pun jadi setipis doa
di tarikan nafas terasa hangat hadirmu
: bayangmu juga yang menatap.


AJ/2014

CUMA DENTING


terdengar lagi nyanyian riang
"tik tik tik bunyi hujan di atas genting"
kamar yang temaram dan senyap
pepohonan tertegun
angin diam

senja terus merayap
kakinya meniti sunyi yang kian muram
langit terang tak ada mega menggumpal
cerita-cerita termangu
kisah-kisah menunggu

: terdengar lagi tapi cuma denting.

AJ/ 2014

HARI-HARIKU BIARKANLAH


jangan tafsirkan mataku
tak perlu kau lakukan itu
telah kurelakan tak cuma kau
tapi aku tak kehilangan apa-apa
atau sesiapa
tak ada yang aus dalam gerus arus waktu
seperti air kali berkecipak di antara batu-batu
begitu binar mentari di bening permukaannya
begitu riang alang-alang menari di anginnya
jangan lambaikan tanganmu
tak perlu kau lakukan itu
tak ada selamat tinggal atau selamat jalan
tergores di rel kereta api atau landasan pesawat
telah kusemat kisah lalu kita di almanak
dinding yang membisikkan mimpi-mimpi
di hari-hari yang panjang dan kering.

AJ/2014

AKU IRI


seringkali aku iri pada daun
yang melayang jatuh pada saatnya
seringkali aku cemburu pada arus
yang meliuk mesra di bebatuan


begitu lembut tembang di bibirmu
merekatkan waktu di setiap dinding
ada wajah anak-anak kita di taman kota
ada wajahku di kertas buram.


kini daun-daun iri kesendirianku
dengan alasan angin berterbangan kesana kemari
dan arus yang cemburu ingin berbalik ke hulu
namun batu menahannya dan tersenyum geli.


: diam-diam aku iri pada dini kepergianmu.


AJ/2014

SUATU SORE dan BUNDA


Sore teduh dan semilir hening nan damai selali mengirim wajah Bunda. Lembut suaranya di beranda itu terasa memelukku dengan kasihnya yang tak pernah kerontang. Bunda, kudengar lagi bisikmu :

"Angdev, pencerahan ruhani itu bisa terjadi pada dirimu ketika kau telah berada dalam situasi “DUWE RASA, ORA DUWE RASA DUWE”  ketika dirimu merasa tidak punya rasa punya."

Aku seperti hanyut dalam pemahaman yang begitu deras mengalir, di antara bebatuan terjal yang siap meremukkan tulang iga.

"Tumbuhnya perasaan serupa itu merupakan pertanda bahwa kau mulai mengawali, memasuki dan berserah pada KAREPING RAHSA. Yaitu rahsa atau rasa atau sir merupakan pancaran dari “kehendak” Tuhan (sirullah). Saat itulah sejatinya kau tengah melangkah di Jalan menuju kemanunggalan. Manunggaling kawula-Gusti.

Tanda-tanda rasa itu dapat dicermati dengan mendengarkan suara hatimu sendiri. Dengarkan. Dengarkan serupa Wrekudara masuk ke telinga Dewa Rucci."

Dan lakon itupun bergulung-gulung membahana dalam benakku. Sebuah ingatan yang memnumbuh-besarkan diriku bersam bau hutan Malabar dan wangi persawahan Desa Ciapus.

"Di dalam RAHSA itu terdapat Zat dan energi Tuhan. Untuk mendengar suara itu maka mulailah menyingkirkan 5 musuh besar dalam dirimu. Mereka itu adalah : nafsu birahi, ketamakan, kemarahan, kemelekatan, keakuan."

"Semoga kamu selalu mendengar suara itu, Angdev," Bunda menyudahi wejangannya. Aku mencium lembut tangannya yang sebening kristal.

AJ/2014

Minggu, 07 September 2014

DONGENG SEBATANG POHON


dulu aku sebatang pohon tumbuh di halaman rumah
rimbunku menaung moyangku dari sengat mentari
kuhimpun angin di dedaun jadi semilir nan asyik
kadang kudengar nyanyi bocah, kelak sanak saudaraku.

pohon itu tak ada kini aku ada di pangkuan bunda
aku berdamai dengan waktu menaungi dengan rimbunku
meski hasratku turut berlarian dalam riuh riang kanak-kanak
ke manakah mereka, bunda, moksakah dipeluk waktu?

bunda mengelus ujarnya, mereka pohon mangga di belakang rumah
bunda jangan jadi pohon ya, kueratkan pelukan di pinggang bunda
dengan senyum bunda meraih kepalaku ke dadanya
kulihat ladang jagung menarikan angin suka-citaku.

AJ/2014

SAMPUR WARNA KUNING


sebuah sampur tergantung dipeluk sunyi
bahkan dinding enggan mengajak berbincang
padahal sudah rindu dia suara tetabuhan
dan jemari yang menyibak.

malam makin jauh. kemarau bulan april
tak ada cerita atau kopi pengganti rindu
sampur itu merana jadi tempat nyamuk istirah
setelah menyeruput darahku, tak pernah puas.

tertegun dia pada sepi terbuang
sampur yang rindu melilit pinggang
diam-diam menyimpan sisa keringat
: sampur warna kuning itu kulilit di leherku.


AJ / 2014

TAPAKMU


lagi kutemukan di sini
mestikah kutaruh kakiku
di jejak tapakmu
sedang aku mengarah ke selatan
menyusur hulu kisah-kisah moyang
menyibak perdu para hyang.

jejak kakimu timbul hilang
catatan yang meliuk mendahului
bersama lambaian tari ilalang
di arus kali yang menyisir tepi
sedang anganku terbata-bata
ingin segera menghapus hari.

bukit lembab itu selalu membujuk
menggurat teka-teki di dalam batok kepala
dan seketika berbagai terka meruah
menggapai ingin di desir yang membatu
jalan yang tak menuliskan arah dan tuju
: ah kenapa pula kukenakan tapakmu.

AJ/2014

KISAH SEORANG LELAKI


dia lelaki tak bertanggal lahir itu
selalu tengadah ke langit
tak berharap satu malaikat menemui.

awan putih mengapung ke timur.

hanya tanda-tanda alam jadi pengingat
gempa dan banjir bandang
menjadikannya anak alam
dan ia tersenyum.

tak ada lagi kata dibisikkan
di teritis-teritis rumah
daun melambai-lambai
dalam tarian angin
kadang diam.

waktu bersijingkat di kakinya
seperti melompat-lompat
di atas bola mentari dan buat rembulan
kota semakin menua.

"perjalanan ada di kaki sendiri
kenapa berharap sayap malaikat
aku anak alam, lahir dari gempa
ditumbuhkan banjir bandang."

lelaki yang berteman terjal karang
telah menjadikan jantung hati alam
ia selalu bahagia menumpahkan darah
dari luka cinta
dari celah telapak kaki dan sekujur tubuh.

lewat gempa dan banjir bandang
ia melempangkan arah kaki.


AJ/2014

RINDUKU BUKAN BASA-BASI


baiklah kucabut saja lidahku kini
agar dalam diam batinku tak berceloteh
berserah penuh pada dentingmu

ijinkan kubasuh kakiku di bening ini
dalam diam nanti kudaki dentingmu
menuju para-para langit wewangimu

tumbuhkan biji mataku baik-baik
dalam diam kini kupandangi dentingmu
yang adalah wajah keabadianku

pinjami satu kepak sayapmu kali ini saja
maka bukan basa-basi kepak sayapku
di pundakmu aku hinggap dan perkasa.


AJ / 2014

Sabtu, 30 Agustus 2014

MARI MALAM


mari malam
dekap rindu-sepimu ke hitam hening ini
kita bertukar cerita tentang langit abadi
di sana tetabuhan sunyi menghidupi
luruhkan damaimu di setiap hati
menggetarkan ksihmu di setiap jantung
yang dengan tabah menanti denting
: menyingkap adi swara.

mari malam
rentang lengan pasrahmu di beku waktu ini
gelap menjadi senyap
gulita menutup mata
sepi hanya yang tersisa menyisihkan ruang
burung hantu dan cengkerik tak berbincang
jelaga perlahan berubah jadi kandil
: adi swara nan ilahi.


AJ/8-2014.

PERJALANAN


tiba-tiba dingin menitikkan embun
angin menyapu awan mengelus wajah bulan
bintang-bintang gugur saling berebut
memburu rindu yang terkubur bertahun
tabah dalam dekap batu
ada putik bunga merekah perlahan
kelopaknya satu-satu membisik namamu
sedang denting makin ranum.

: malam terasa makin jauh.


AJ / 8-2014

Rabu, 23 Juli 2014

DALAM NAMA ITU


Ceritakan lagi, ayo, ceritakan lagi
tentang 'sumur Yusuf'
jelaga yang anugerahmu
mengirim 1000 bulan
melarung 1000 mentari
yang dirindu langit kami
sedang tetua kami cuma aladin tiruan
disembunyikan harta di tembok-tembok bata
kepada kami diwarisikan 'lubang buaya'
luka nurani kami.

Bawa kami, ayo, bawa kami
ke sumur tua terberkati
beri waktu kepala kami meski sejenak
melongok kepompong kegelapan
cukuplah muka ini dibilas cahayanya.

Beri kami, mana, beri kami
kunyahan madu di dalam mulutmu
namanya yang 1000 bulan
namanya yang 1000 mentari

Jadikan aku, ayo, jadikan aku
sang 1000 nafas dalam nama itu.


AJ / 2014

SAJAK RINDU


rinduku bukan lapar yang bisa ditahan hingga magrib
lapar rinduku ingin berdamai dengan dinding-dindingmu.

rindu meniti hari
rindu menapak jalan
rindu renangi ombak
rindu mengapung di awan-awan
rindu menyerap di pori-pori.

rinduku lapar yang menggelepar-gelepar di alun namamu
lapar rindu yang berlabuh di pangku dan telapak tanganmu.


AJ /2014

Minggu, 13 Juli 2014

KIRIMI AKU OMBAK


padahal namamu madu di bibir
inginku kau tahu sejak dulu
ah, hujan selalu menghapus
gairah dermaga perahuku
ketika rindu melaut
purnama nanar termangu
tak ada kilau terpantul
pasir bagai emas sepuh
esok kembali luluh.

namamu butir-butir pasir di lekuk teluk
hatiku perahu menanti ombak menjemput.


AJ/2014

SERINGAI BULAN JULI


seringai bulan juli sudah memperlihatkan taringnya
ada mulut berkumur darah
ada darah melelehkan api
subuh masih beku ketika kaki-kaki lesu
berbaris menyerahkan tengkuk pada bumi

langit mengirim pelangi hitam jelaga
serupa mimpi yang dihindari hingga pagi
mata bersitatap dalam doa yang diam

hanya dalam hitungan windu istirah ini
lengan kaki cuma tulang berserah pada angin
belum pernah tawa sempat dinikmati

bangunkan kami dari mimpi buruk ini
sebelum taring itu kilau kena sinar mentari
seringai bulan juli, jauhlah dari wajah kami.

AJ / 2014

SEBUAH SAJAK DI MUKA JENDELA


kusampirkan sebuah sajak di dahan muka jendela
tak usah kau petik dan merepotkan diri mencari galah.

biarkan ranum di sana berayun desir memandangimu
pada saatnya ia akan turun sendiri dan menyapamu.

kau pun tak usah buang waktu membacanya. biarkan
sajak itu akan membuka lipatan menguraikan makna-makna.

bercerita tentang bumi dan bulan yang setia beredar
pada jalur purba seperti hidupmu seperti hidupku berpendar.

tak ada yang tercecer, terlupa atau sengaja ditutupi
ketahuilah sajak itu matang dari hatimu hatiku hati kita.

tak ada pinta, kita tinggal telanjang di sepanjang cakrawala
berpeluk wajah bumi wajah langit wajah angin yang menghela.

sajak yang kusampir di dahan hidupmu bercabang-cabang kini
berakar di langitmu di langitku menjadi hujan musim semi.

AJ / 2014

M A T A


telah jauh kita bicara kesetiaan:
sejak itu kita bercerita tentang mata
kau memandang dengan mataku
aku memandang dengan matamu?

dan mata kita tak saling menipu
cermin tak pernah menipu
hati kita tak henti menari
di cermin itu:
mata yang jendela.

bisa jadi gelombang bening ini
berpendaran dari matamu dari mataku
getar hati semesta tak henti meliuk-liuk
menari di hatimu berdendang di hatiku
membawa pesan purba dari taman itu
: titipan nenek moyang.


AJ / 2014

TANAH INI MENGINGATMU


di sini. pernah sepasang kakimu tertanam di tanah ini
kita bersisian menatap rembulan yang menggantung.

tatapanmu binar tertuju sepanjang kegelapan bening
meluncur bisikmu, di langit bulan bergerak ke barat.

itulah ego yang selalu minta menjadi pusat
kau diam dan nasibmu berlari-lari memutarimu.

pahami.  kau tak punya kendali atas pikiranmu
seperti kuda sembrani merenda bumi beribu kali.

maka jangan risaukan aku yang selalu menjangkau
kau bebas di atas alur yang kau oret sejak awal.

bukan aku. jari jemarimu memetakan jalan setapak
dan kau sendiri membuat titik di akhir kalimat.

malam makin basah bulan tergelincir di ufuk subuh
tak ada perjanjian itu kau sendirilah menunjuk tuju.


AJ / 2014

PERJALANAN KISAH


beribu kali mentari mencatat lewatmu di setapak jalan ini
kakimu tak menghitung, kau pun asyik sendiri lupa mengali
kau telah gauli awan, mendung dan desir yang membelai pipi
langkahmu serupa biji tasbih, kau eja nama-nama dengan dzikir.

di gelap malam kau menyusur berpenerang bintang di tangan
nama-nama itu makin mengental diapungkan nafasmu
tak kau pasrah-serahkan lelah-langkah pada matamu
swara yang kau damba sayup menuntunmu dengan lembut.

perjalanan ini adalah pembacaan kisah-kisahmu sendiri
telah kau tulis dengan tinta kehidupan yang silih berganti
dalam berlaksa warna dan bentuk sejak bumi berputar
dan denting yang berpendaran hingga kini tak henti.

“tak seorang kukenal selain mereka,” keluhmu pahit
matamu menangkap al-Hallaj, Jenar, Tabrizi dan Rumi
“ah, aku tak sendiri di sini,” kau senyum mengerti
tak semua kaki dipanggil menempuh setapak ini.


AJ / 2014

Kamis, 29 Mei 2014

PADA PAGI


pada pagi kau menarik nafas penuh
kau hembus pada malam yang melegakan
gelisahmu menggelepar di jambangan.
sepi.
: segala terlempar luruh.

angan tak lagi menjadi kapas
mengapung di kedalaman langit
lalu memojokkan segala ingin.
semua.
: tembok makin menghimpit.

dulu sudut-sudut ini kau kenali
tiap detikmu harapmu perlahan meniti
begitu yakin dirimu pada janji-janjinya.
pagi.
: kau menatap jendelamu kembali.

AJ  /2014

DAN KAU PUN MELIHAT


berharaplah suatu waktu matamu dibasuh karunia
melihat bebijian berubah jadi kecambah
lalu tumbuh sebagai pohon dengan kehijauan daun
atau melihat rebung mengubah diri jadi bambu
dan bulir-bulir padi mulai bernas.

alam selalu bercerita dengan senandungnya
dengan partitur yang sudah selesai ditulis
yang tersisa tinggal langkah-langkah
memainkan perannya sendiri-sendiri.

mestinya hatimu teriris dan tak tega kau kibaskan
seperti tawon yang sesal tak menciumi putik
membiarkan seikat bunga layu di jambangan
atau remah nasi yang terbuang di kolong meja.

renungkan tentang ruhmu yang bertanya selalu
seperti tentang nyanyian yang mendadak terhenti
dan irama yang menggantung di tenggorokan
lembah dengan suara dari kejauhan yang terputus.

telah dibekali dirimu dengan sejumlah kebijaksanan
yang kau dengar sejak diayunan hingga bangku sekolah
di sela memeras keringat dan pencarian jati dirimu
sampai kau tertegun bertemu arah yang milikmu sendiri.


AJ / 2014

PURNAMA BULAN JUNI


sssttt.. jangan, jangan
jangan kau ganggu permukaan perigi
biarlah rembulan menarikan purnama
bersampur gemulai tubuh kekasihku.

jangan sesekali lempar batu atau sebiji kerikil
seribu riak akan mengacaukan keceriaan mereka
dan kita kehilangan kecantikan dan lagu malam
lihat, daun-daun merunduk diam dan takzim.

duduk saja di sini, di tepi damai dan semilir
mari berkaca pada cerita purba yang digelar
purnama itu lembut luruh mengalunkan tetabuhan
dan aku tersihir, kubiarkan kekasihku direguk cahayanya.

purnama bulan Juni kini menarikan sepi di tiap perigi
kabarkan saja dan bisikkan di tiap dusun dan desa
tentang lelaki yang terkapar di dasarnya, dan
bidadari yang meliuk-liuk pilu di permukaannya.


AJ / 2014

Selasa, 27 Mei 2014

AKU HARAP BUKAN MIMPI


aku berbincang dengan pohon cherie saat itu langit mendung
ranting yang diguncang angin menghujani dengan daun-daun kering
tiba-tiba teringat aku pada pertemuan terakhir yang menekan
siang itu semua gelisah hanya milik kita berdua.

kau mematung di ambang jendela dengan dian dan dupa. entahlah
harum mengambang di udara dan taman jadi terasa senyap
mataku masih terpaku di dadamu yang tanpa busana. seperti enggan
melepaskan pertemuan-pertemuan kecil dengan kecupan kecil.

kau asapi tubuhmu yang pualam. patung dewi venus di musium louvre
dan candamu yang menggoda kelelakianku, masih hangat terasa
seperti makanan di resto mahasiswa dan kita antri dengan sabar
atau kerlingmu di rung kuliah ketika aku bingung tak mengerti.

kini aku di halaman kampus, tegak dan sendiri di antara salju turun
kenangan ini akan lama berulang di hari-hari mendatang. entah kapan
tak bisa aku memintamu meski dengan teriakan meninggi angkasa
aku hanya bisa berharap, tak lagi di mimpi malam-malamku terjadi.
 

AJ / 2014

DATANG MALAM


kau namai kenangan bayang  yang menyelinap
angin termangu di sini menata lembaran lalu

di rak-rak buku terselip buku harianmu
jendela kamar nganga tak ada desir mainkan daunnya

di luar gelap. diam. terpaku menatap wajahmu
yang tak lelah berpacu memburu kalender

sendiri lagi di saatmu. ini detik melenggang lalu.
kau cuma bisa bercakap dengan hatimu

sedang pikiran melayang dalam kembaranya
ah aku tidak sendiri, lirihmu tak pasti.

pada hidup. perlukah menawarkan perhitungan
bila masa lalu telah menyusun kisahmu kini?

yang jadi tanggungan kini. dan nanti. kelak.
bila pelatarannya jadi asing tak kenal datangmu.
 

AJ / 2014

Kamis, 22 Mei 2014

KUPU-KUPU


gulita ini serupa jelaga yang mengkafani 
pekat, menghangatkan
ini pasti pelukmu aku akan diam pasrah 
kubiarkan doa mengalir
aku tahu kau tengah merenda nasib yang mesti kupikul 
lewat tubuh, kaki dan sayap-sayap yang bertumbuh.


lalu kau tiup lembut ruh ke dalam paruku
gelinjang geli membuat kakiku menendang-nendang kepompong 
lalu kau serahkan segalanya pada semesta
ia mengerti hukum-hukummu yang rapi merajut. 


suatu ketika. pagi benderang menadahkan tangan
mengecup mesra indah sayapku dengan hangatnya 
tiba-tiba tubuhku terlontar dengan sayap mengepak
menerbangkan diriku yang terpana takjub. 


aku mengapung. seribu warna-warni bunga riuh mengundangku
menyuguhkan seribu putik mengandung madu 
mempertemukan dengan sesamaku dan saling mencintai
oh, semesta, terima kasih untuk hariku.


akankah kulintasi tujuh mentari dengan selamat
tak ada galah atau jaring mencegat, dan pemangsa
ah, kenapa mesti kurepoti pikiranku dengan kegelisahan
hidup baru saja kunikmati dengan nafasku.
  

AJ / 2014

KAU, SORE, AKU



sore malu-malu menggamit lenganku
menghampir kamu membawakan cappuccino, bisiknya 
jangan ucapkan goodbye atau kata yang membuatmu kelu
dan ia minta kupeluk petang di celah tiap langkahmu. 


kesendirianmu sering mencampakkan harapan
jalan yang pernah kita tapaki menghapus jejak-jejak
 tak ada lagi gedung unik dimana kita berteduh
kota ini begitu angkuh dan dingin. aku sendiri disini. 


maaf. seringkali aku selfish dan tak mengerti dirimu
meski sebuah senyum sudah cukup buat mimpimu 
dungunya aku. lebih suka mengadu pada sepi
sedang kau tak henti mengibaskan sayap-sayap perih. 


sore makin jauh, petang masih enggan menjemput
di permukaan Seine mengapung segumpal rumput.


AJ / 2014

B O L A


Cukup. Kenapa berpuas pada sorak sorai itu
dan diharap menggemuruh ke seluruh kota
buat apa mencuri bola di kaki sesama 
kemudian saling menelikung dengan kaki lawan
lalu berkutat menjaga bola itu di kakimu
sebelum kau sempat menggolkan ke gawangnya


Ketika pertama meninggalkan rumah kau sudah tahu
begitu kaki menjejak lapangan sebelas lawan menunggu 
memperebut dan menggiring bola nasib sendiri-sendiri
di lapangan yang luas 
tak berpenonton
tak punya tepi . 


Lapangan itu dan jalan menuju ke sana adalah milikmu
mengundangmu setiap saat agar datang ke sana 
menendang dan menggiring bola nasibmu melawan waktu
berlari ke gawang yang kau tahu ada di seberang dirimu. 


Pun kau tahu lapanganmu dikepung musim-musim
basah di penghujan atau jadi padang debu di kering kemarau 
di sini hati kecilmu bimbang dan tahu,  bahkan pada sepatumu
tak bisa kau gantungkan harapmu pada dukungan penonton 
mereka cuma siap setiap saat menyoraki kegagalanmu.


Jadi. Siap-kuatkan kakimu mendepa tiap jengkal rumput
menggiring bola nasibku ke gawang entah di mana. 


AJ / 2014

Kamis, 15 Mei 2014

SAJAK JEMARI


kuhitung-hitung jemariku
tak pernah cukup menjumlah cintamu

kuderet-deret jemariku
terlalu banyak mengeja hatimu

kujejak kakiku di gigir waktu
di ujung sana kau tentu telah menunggu

kulepas mata memandang bukit-bukit
ah, kau di awan dan terus saja merakit

abaikan, biarlah aku berserah pada kini
membebat waktu mengekalkan diri.


AJ / 2014

A D A K A H


adakah lagi kata masih tersisa buat dilarutkan
sedang lembaran sudah ditulisi hingga jilid penutup?

adakah lagi hati berbagi pada mentari pada rembulan
sedang bisik kehilangan lidah dan bibir telah lama kuyup?

adakah lagi langkah-langkah mesti menggumuli jalan
sedang kutub melucuti jarak dan ruang pun mengatup?

adakah lagi kau dan aku saling bersetia mendepa hari?
ah, sungai makin tak peduli terus menjauh membawa arus.


AJ / 2014

DOA MUSIM


musim semi berpacu di tubuh kita menuju utara
mengirim hangat uap teluk dari selatan
diam-diam mengendapkan kabar di kamarmu
disembunyikan di antara bantal mimpimu
tercium harum lavender di atas bukit
mengungkap kasmaran di sekujur tubuhmu

rindu tak lagi milikku meski harap selalu was-was
kuatir tak juga berlabuh di harimu
ditimbang gelombang tanpa arah
sedang kau tak pernah mengerti
atau merasakan kuncup yang bermekaran

adakah hidup di genggammu? masihkah?

seperti hijau di tanah leluhur desa Ciapus
bunga kemladingan di gigir bukit, senyummu
serupa jambu air yang menjanjikan manisnya
kusaksikan lagi dengan rinduku gemulai tarimu
di tengah pelataran dusun dan riuh gamelan
di sela decak tetua desa dan bundamu
aku mencuri lekuk tubuhmu
dan kuterbangkan ke dalam musim
menyelinap di awan dan lembar almanak.

AJ / 2014

PESAN MEI


ada yang mau kutanyakan, ah, dia tak lagi di sini
kukabarkan saja pada hati sendiri sedang dinding sudah punya cerita
darah itu masih hangat dan api menarikan remang di wajahnya
kemana dia padahal pintu sejak lama mengangakan hati bunda.

ada yang selalu bertalu dalam benak, tapi, bunda teramat kelu
kabar yang diharap dinanti diam-diam tak bawa anaknya pulang
hanya sepotong KTP membawa hangus tubuhnya tanpa laminating
dia tinggalkan tulisan di dinding toko di atas gosong tubuhnya.

"sialan, mereka menipu kita."


AJ / 2014

Senin, 21 April 2014

YANG TERSESAT


sengaja kembali kemari
balik ke pintumu memeluk gerendel
ada damai di situ tercantel
ada teduh sehangat api.

di pintumu kusemat rinduku
di wajahmu lesu letihku luluh.

silang jalan telah kurentang
bentang luka di setiap langkah
janjimu itu merdu meluruh
janjimu itu di telinga gemuruh.

seperti dulu juga kau
tak pernah beranjak ke mana.

bermantol kulitku
berjendela poriku
berpintu sembilan-tubuhku
sabar menungguku
membiarkan musimku
berbisik
melepas kabut dari mataku.


AJ / 2014

YANG TERSISA


begitu kaki menginjak tepi
langkah terhenti di tebing
bibir pun terkunci
ada gumam yang sunyi
angin mengangkat kering
gerumbul kembang rerumputan
seperti menerbangkan isi benak
yang mendadak rembang.

sejak mula semua ini remah
di adonan genangan peluh
dilayarkan doa-doa dan keluh
demi harap berpusar di kemah.

demi darahnya yang ditampung
meski dengan hati yang lempung
namun pasrah tak pernah rampung
dan siksa terus melambung.

dalam gumam yang diam
selalu ada yang tersisa
pasrah kehilangan bisa
di sini, remang dan suram.


AJ / 2014

PAGI


mentari menulis ayatnya di sulur-sulur nadi
kaki-kaki mengeja tetes darah di ayun langkah
dititipnya doa di butir-butir debu.

perhitungan sudah lama diserahkan pada kelu
tak ada gadai buat sepasang mata
tak ada cerai bagi sebuah arah.

sejak putih nisan basah airmata ditancap
pusara membisik pesan yang terus menggelitik
ikuti jalan mentari membawa hangatnya.

jalan tak pernah mengungkap tepi
hasrat saling bertalu berebut ruang
mereka tak tahu waktu yang selalu membatas.

hai, pejalan pagi jejakkan saja kaki di tepi sunyi.


AJ | 2014


APOLLINAIRE



Paris tinggal stempel kini di lembaran paspor
kubereskan semua buku dan baju ke satu-satunya kopor
wajahmu tak henti meronta di mataku
salju yang meleleh dari sepatu

Kini Paris cuma foto di kantor-kantor perjalanan
sekedar bayang sedang kaki terpateri di sini
tak ada beda antara Seine dan Ciliwung
wajahmu menari-nari di sana di permukaan sunyi

angin yang kuhirup dari laut makin kuat meyakinkan
kita cuma berlari-lari di ruang kosong dan waktu melompong
kau selalu melolong merindukan panas mentari
aku ingin hanyut di Seine bersama sajak-sajak sunyi

di dasarnya aku bisa bertemu Apollinaire.


AJ / 2014

Minggu, 30 Maret 2014

by. Ang Jasman

Hari ke hari mentari menggandeng pagi
berbagai soal berkelebat dari benakmu
berbinaran serupa lidah-lidah api
membentur sesamamu
menghantam lingkunganmu
melumat dirimu sendiri

Seribu rumit membelit kepala, tubuh dan tumit
itu menghambur dari ego
menusuk langit dengan pedang jumawamu
sedang jiwamu rendah hati semerah kirmidzi
tertegun dengan pandang yang sederhana
tak ada kata sepatah di bibirnya

jadi, kenapa tak bisikkan lembut pada pagi
masihkah tersisa kebaikan hari ini
meski sebesar biji sesawi?
lalu kepakkan sayap jiwamu melesat ke awan
kebebasannya.

AJ 2014

Sabtu, 15 Maret 2014

by. Ang Jasman

datanglah saja, aku tunggu
sebuah undangan dialas suara lembut
tak perlu repotkan dirimu dengan bawaan segala
datang saja meski tanganmu kosong
daripada muka berbalur senyum hati melompong

kau tahu di sini kita terlempar dalam pusaran
waktu bukan milik orang bengong
dan kita terpaku di simpangan waktu di pinggiran
putaran jam dengan nongkrong sambil kongkow
meski itu lebih bagus daripada meong-meong
lalu saling merongrong
lalu saling gonggong

di kamar, ruang kerja, atau cafe yang lengang
selalu kau bisa ke dalam hatimu melongok
menderet-deret namaNya beronggok-onggok
di antara nasi goreng dan busa cappuccino
juga dalam juangmu melawan ngorok
sambil berharap mentari tak lekas di atas pondok

dengan riang dan perasaan mangkak
kau ayun sekali lagi langkahmu kian mangkrak
saat itu kau memperoleh sepasang sayap buat berkepak

dan kau berkeluh sungguh tanpa bertangguh
"diriku cuma cangkang doa-doa." kau lalu tersungkur.

2014

*menderet-deret namaNya beronggok-onggok = berdzikir
by. Ang Jasman

tak ada awan
telah menjadi gumpal hitam meneteskan gerimis
di ujung tikungan menuju perkantoran jalanan basah
kepul bubur di mangkuk, aromanya bikin tak peduli
kaki bangku basah
sepatu dan sandal basah
mobil dan motor basah
lalu lalang basah

tak ada awan
cuma kepul harum bubur ayam dan senyum abang-abang
tapi aku tak bisa senyum atau membuka bibir
di mangkuk mereka bertumpuk sewiran ayam
di mangkukku seekor bakakak seperti mengerami bubur

langit seperti aku temangu menatap
bakakak tengkurap dengan tubuh gosong dan hitam
tak kudengar celoteh dan sesekali tawa para penikmat
mereka tak peduli pada bakakak yang bercerita lirih
mataku berkaca, pandanganku jadi buram
seperti doa yang dikulum tanpa henti
waktu seolah pergi untuk cerita yang diulang-ulang
tak dibiarkannya kita menanam kepekaan

di penghujung cerita bakakak itu tumbuh bulu
perlahan, namun makin lebat dan membuat dirinya kuat
bakakak itu berkokok lalu meloncat dari tepi mangkuk

"eh, maaf, bapak lupa menaruh ayam,"
sesendok dua sewiran ayam menimbuni bubur
aku masih termangu, mataku dibawa pergi si bakakak
yang tengah dirubung anak-anak dan isteri ayam

tak ada awan
kulahap buburku perlahan.

2014

*bakakak (bs.sunda) = yang yang dipanggang secara utuh.
by. Ang Jasman

aku tidak sendiri
ada kamu di fesbuk

aku tidak sendiri
ada lengking knalpot memekik

aku tidak sendiri
ada kopi dan remah roti sisa pagi

aku tidak sendiri
ada dia di sini
meski tak kusemat dalam leontin
atau doa
cukup kubisikkan namanya
di sepanjang hariku

aku tidak sendiri
ada bayangku menemani.

2014
by. Ang Jasman

dalam asyikmu makan malam sambil bincang
masih kau geprak kecoa itu dengan dendam
dia cuma kebablasan karena perut yang lapar

dalam sepimu di beranda ditemani kopi dan donat
tanpa ampun dan tobat
kau tepuk nyamuk itu meski baru menclok

ah merdekanya mulutmu berkoar
pada penyeberang yang tengah melamun
adakah waktumu begitu berharga meski dua detik
siapa tahu lelaki itu nelangsa tak punya kerja
atau ditinggal anak istri balik ke desa

tak cukupkah
berapa ekor kambing dan ayam kau jadikan soto dan semur
buat pemuas lidah dan memperluas kuburan perutmu
sedang seekor tumbila masih kau krewes
padahal dia cuma gemas pada gembur pantatmu.

*tumbila (bs.sunda) = kutu busuk atau bangsat dalam bahasa betawi.
by. Ang Jasman

ternyata tak pernah cukup kita saling menyinta
dalam diam dan jarak selalu saja berkhianat

tak pernah cukup berbagi rembulan bahkan
mentari kau genggam-sembunyikan cayanya

untunglah jalan ini amat panjang buat kita
yang tak pernah mengenal letak dermaga

maka airmata tak lagi jadi tanda duka
dicucinya segala haru dan keluh yang menjelaga

langkah bukan berarti mendepa jarak
cuma kepasrahan mencium debu di kaki

ayo, campakkan segala perhitungan lalu
tinggal satu kekuatan yang perlu, kepala batu.

2014
by. Ang Jasman

ada kembang kenanga depan beranda termangu di wajahmu
memandang tetes peluh kakimu berkisah tentang langkah-langkah
bahkan reranting membiarkan ceritamu lepas tertiup angin
dedaun di pucuk-pucuk mengayun-ayun duka suka sendiri.

nafasmu terperangkap di ruang ini dibusukkan waktu
airmatamu menuliskan pesan di kamar-kamar makin temaram
badai membujuk ke peluk pusarannya, kau mengapai-gapai langit
cepat kau punguti remah-remah doa yang tersisa di sulur nadimu.

ada sisa waktu menyebar di dinding musim-musim
bunga-bunga tumbuh subur, kelopak layu memeluk bumi
beranda benderang lagi, percakapan dan tawa di sana-sini
sayang, bahkan tak ada bekas tapak suaramu menyapa.

kau bawa bayangmu bersama mentari
di tiap jejakmu, debu dan kerikil kau punguti
matamu menyimpan bahagiamu sendiri
kau semai namaNya di getar bibir.

2014
by. Ang Jasman

buat apa bermalam di atas jembatan
lagi tak mungkin berumah di sana

campakkan bantalmu
tinggalkan kasurmu
larilah ke tanjung
angkat segera sauh perahu

dengar rindu layar pada angin
kembangkan
arahkan kemudi menyilang gelombang
mematah badai
jangan pikir kandas atau sampai
tuju saja dermaga yang kau damba.

2014
by. Ang Jasman

dihentaknya keduabelas kuda paling jalang, kereta itu nembus
badai menggangsir angin segala musim. di puncak-puncak cuaca
kereta paling anggun berlari menapaki ayat-ayat tak terucap
rembulan jadi bola hitam kehilangan cahaya.

tak tersisa lagi, tidak, segalanya hanyut dilarung waktu
detik-detik menghitung pasir saling berbisik
cahaya tinggal nyala di telapak menjadi penerang mata dan bibir
"jangan katakan sia-sia, jangan ucapkan.." suara dari ketiadaan.

gemuruh duabelas ekor kuda mendengus membelah gulita
pantai tak berpindah tanjung kecuali arah ini berhianat
kereta berderak, paku-paku melepas, tali-tali terputus
roda-roda berputaran penuh gairah mencium karang bercuatan

asin garam melumuri ujung lidah dan angin terus menahan
tak ada lampu di dermaga dan kilau laut tampak hitam
"dengus kuda-kuda ini adalah aku, menyatu di nafasku.
adalah kendara yang menyeberangkan."

lelaki dengan duabelas nyawa kuda tak memikirkan dermaga.

2014

Rabu, 26 Februari 2014

by. Ang Jasman

botol-botol bir di meja tidur, kosong
gaun tidur di keremangan kamar
tubuh yang semampai, transparan dalam ruang 
nafasku nafasmu memburu, menyatu
membungkus malam tanpa tepi

ah, percuma saja
hidup tak juga sempurna 
ini cuma tubuh-tubuh yang tercecer 
tercampak membusuk dalam waktu.

2014
by Ang Jasman

dia datang begitu saja tak diundang apalagi dijemput 
ketika kutuliskan, berikutnya muncul, lalu muncul lagi yang lain
kata demi kata pun kalimat demi kalimat berhamburan
minta aku menuliskannya

ketika mau diposting tak semua dapat dimunculkan
ada beberapa kata dan kalimat yang mesti diputus, di buang
apa boleh buat tapi dia mengerti kok 
demi kebaikan dan kebagusan teman2nya dia rela 
berkorban

*bukan sajak, oretan ini sekedar catatan kecil.


by. Ang Jasman

dia masih bocah yang sama. di kemarau ini 
sawah-sawah tak mengubah kulitnya. memang legam 
bahkan penghujan yang bawa banjir ke ladang-ladang 
tak mengubahnya menjadi bule. meski hatinya tetap putih, 
mungkin 

jejaka yang kamu kenal kini. dulu bocah lanang itu 
tawanya menyapu wajah perbukitan dan dukuh-dukuh 
di pasir ipis, sagala herang dan tanggul angin
dibawanya tanaman obat bagi yang sakit 
dipetiknya buah-buah buat yang ngidam 
diurainya cerita-cerita para buhun dan karuhun
di ujung jemarinya dawai kecapi tak putus berdenting 
dan seruling yang menusuk senja semakin senyap

gerumbul hijau di bukit utara menatap arus 
yang setia menyapa bebatuan yang menyembul 
di atasnya jejaka dan bocah lanang merenungi bayang 
rembulan mengalir di permukaan kali.

2014
by. Ang Jasman

ketika kau memilih pulang
kau akan dihambat oleh lawan, tapi juga kawan

ketika kau menyerah tinggal
maka kau dimanja oleh kawan, dan juga lawan 

jadilah kau keledai memutar-mutar kilang di sini 
sedang para malaikat itu iri akan harkat dirimu 

teman, berabad kau lalui sejak jentik-renik 
selalu saja kau abai iring-iringan kafilah ini.

2014

Feb 2014



Malam ini 22 Feb 2014 Ang Jasman bersama Bang Sutardji Calzoum Bachri dan Wayan Jengki Sunarta   hingga kafe Penus TIM tutup
by. Ang Jasman

waktu mendadak diam, mencuri jarum-jarumnya sendiri 
lalu dengan terburu-buru di telannya semua
tak ada jejak selain keroncong yang makin riuh 
dan gambang kromong yang menabuh keasyikannya sendiri

angka-angka berjatuhan dari cakram waktu 
menggelinding di lantai ubin yang retak dan kusam
alam kembali membaca dirinya, dengan anggun 
menuntun anak-anaknya lewat taman dan boulevard

mimpi-mimpi dengan merdeka berpora pesta 
berloncatan ke pintu, jendela, mencari jalan sendiri 
membiarkan lehermu mendesah tercekik
menggandeng belalang, burung dan bengkarung

dan di satu detik waktu degupmu berdentuman 
kau tergagap menyembul dari porimu yang lama mampat 
kau bisa menyerah di tiap waktu, tapi kau tak mau
kau bawa larimu jauh menuju ke langit utara.

2014
by. Ang Jasman

kelu tatapmu menggigir gigil tubuhku 
lekas selesaikan sulamanmu
jahit tandas sisa luka musim hujan

lewat cerita yang mencumbu jemu 
kau lepas lagi langkahku
lagi
dan lagi.


2014
by. Ang Jasman

ada jejakmu di tanah basah ini 
bergegas menghambur ke arahmu yang terus menjauh 
diseretnya mimpi-mimpi yang makin kabur dan kabut 
bayanganmu tak sabar menghapus musim

ada seekor kenari melompat-lompat di reranting 
cari keciap yang disembunyikan hijau dedaun 
seribu kali sudah kau putari cemara ini 
doamu menderai di pucuk-pucuk 

ada jejakmu mencium basah tanah ini 
berbagi cerita-cerita buhul dengan sanak kerabat
dikisahkan pada malam di antara mata meredup 
di tanam pada siang hingga musim mendatang

ada jejakmu, berpeluk sisa gerimis.

2014

HAIKU di siang kamis 20 februari 2014

by. Ang Jasman

HAIKU di siang kamis 20 februari :

PENGARANG
laptop membuat sepi
padahal asyik
tik tik tik tik tik

TARJI
setiap jumat
tardji nongkrong di sini
tim tim tim tim tim

SALIHARA
dulu goenawan
sibuk ngurusi
tuk tuk tuk tuk tuk tuk tuk

BARONGSAI
meliuk naga api
di muka gus dur
breng breng gombreng breng

DIKEJAR
ngibrit terbirit
takut mati beneran
gug gug gug gug gug

Haiku di pagi Kamis 20 Februari 2014

by. Ang Jasman

Haiku di pagi kamis 20 februari :

GENTENG BOCOR
gerimis pagi
air mrembes di genting
tik tik tik tik tik

SEDANG MERINDU
ketemu foto
wajah yang dirindunya
du du du du du

TUKANG BAKSO
tok tok tok tok tok
gerobak bakso lewat
bikin kabita

LAGI BOKEK
aku bokek lagi nih
kok sering kali
uh uh uh uh oh

MEDITASI
duduk diam sendiri
menjadi hening
ting ting ting ting ting

2014

by. Ang Jasman

di titik ini baiklah kupasang tangga. buat 
membisikkan kata-kata pada bintang 
serupa pelaut merindu bintang utara 
berharap langit berubah terang 
bulan terjaga lalu menebar-nebarkan cahaya 

dititik ini kupahat mata kata. buat mengabarkan 
ada jejakku di sini kutitipkan di tunggul waktu.

2014
by. Ang Jasman

kembali wajahmu berkelebat di jendela mengusung rindumu 
seketika kamar jadi pengap dipadati gelisahmu yang pias 
aroma bau tanah mengabarkan tentang airmatamu juga hatimu 
angin tak pernah henti membisikkan hari-hari kering dan basah

kukenal betul lekuk pipi dan hidungmu yang dikacaukan hari 
pernah kulihat sebongkah airmata mengurung di pelupuk 
seperti musim diam-diam mengendap mau mengabarkan kemarau 
aku cuma bisa terpaku di kerindangan ini memandang jauh

perlahan kusibak kisah lama yang kita titipkan di tempat itu 
masih ada di sana meski dilumuri debu waktu dan igatan yang lupa 
segala telah berubah bahkan jam di dinding kehilangan jarum waktu 
maaf tak ada yang perlu ditunggu sebelum kata-kata jadi kelu

kau yang bercermin di mataku pandang saja hatimu di sana 
biarkan kelopak rekah itu menitip wangi pada pagi yang retak.

2014
by. Ang Jasman

seperti yang sudah, sore selalu mengelus kepalaku lalu mendekap ke pelukannya. jangan kau sangka aku merindumu. tidak. sore punya rindunya sendiri, tak semua kamu merasakan belainya. hingga dibawanya ke tepi cakrawala dan mengajak terjun ke dalam riaknya yang lembut.

sore dan laut dan gunung-gunung menyimpan cerita purba. tentang bunda dan ayah, berdua menyusuri bibir pantai. tentang kakek yang pulang bawa kayu bakar dari bukit. dan aku yang selalu menunggu gebah untuk mandi sore, kecuali bersama teman memandikan kerbau-kerbaunya. 

sore pun surut di larung arus kali.

kini sore meliuk-liuk di nyala lampu terselip di dinding bertambal koran. sepasang cicak berkejaran di plafon bambu. gerak mereka beku seketika bersama suara tokek.
mataku berair, kuberikan senyumku kepada sore, cicak-cicak dan tokek. kutulungkupkan buku di dadaku dan aku pun melompat ke dalam mimpi.

pagi siap menuturkan cerita baru lagi tanpa memaksaku mendengarkan.

2014

Kamis, 13 Februari 2014


by. Ang Jasman

terjaring di arung waktu lesap aku di hitam gulita
jemari menghilang tiada lagi hitungan
bintang enggan menunjuk arah. segala kabur. buram
ada suara berkata-kata
bisik itu muncul lagi
tapi sepi ini kau kunyah
tapi senyap ini kau sesap
terkapar aku di gurun yang menggigil
tergolek aku di kutub yang peluh.

terjebak di labirin ruang silau aku di matamu
bara memanggang ruang-ruang kedap tak berjendela
tak sebuah lubang pun buat meloloskan sayap
segala langkah, segala kepak, runtuh di tembok dindingmu
ada denting bertalu-talu
musik tanpa penabuh
kuserahkan senyapku di sesapmu
kupasrahkan sepiku di bibirmu
kuujubkan diriku pada dingin gurun ini
kupendam keluh pada bara kutub ini.

aku hilang kata hilang kepak.

2014

by. Ang Jasman

tidak. waktu terlalu baik untuk licik
hatinya memang dingin tak peduli

selalu loloskan tubuhnya, berkali-kali
jadi bebaskan hatimu meluncur pergi

sekali waktu ia mencumbu langit
basah pun dimana-mana melilit

suatu musim ia mendekap angin
kemarau keringkan tanah dan hati petani

waktu dengan setia menghitung langkah kita
di suatu dermaga dia lambaikan perpisahan

lalu membawa langkahnya sendiri
menggenapi perjalanannya yang abadi

2014

by. Ang Jasman

aku ingat benar, siang menutup daunnya perlahan nyaris tak bersuara
tak terdengar suara grendel di putar
aku sempat mengerling tanganmu yang gemetar
mungkin bisikmu tadi menyisakan kemarahan di jemarimu.

petang di taman yang basah dengan sisa hujan
ada sisi kering di sebuah bangku, aku duduk dengan bayangmu
tak ada kenang. hanya hal-hal kecil terakhir kita di cafe itu
sorot matamu, senyum dan ciuman kecil di pipiku.

luruh semua itu seperi daun basah yang tersungkur di rerumputan basah
tapi hatiku tak basah, atau mestikah begitu?

aku ingat benar, aku terbiasa melangkah sendiri dan bersendiri
seperti bulan di atas sana, yang muncul dini dan pucat.

petang di taman yang basah, ada sisa hujan di hatiku.

2014

by. Ang Jasman

malam di ujung jembatan dingin terasa makin sepi
kerlip lampu seperti enggan bersapa. kelu menghimpit
nafas jadi sesak. pengap.

sudah kupegang, lolos, terbang juga
tak ada bisik penghabisan, kepak cuma yang tampak

sudah kucekal, meleset, pecah berderai
tak ada tetes terakhir, kering mencekik leher

mari berjalan atau ke mana saja, ajak sepatu bolong
telapak kotor tanah, terkadang ada kerikil menumpang
di tarikan nafas yang panjang, langit tetap hitam
tinggal aku sendiri, kerlip lampu dan arus yang menghilir.

2014

BISIK


by. Ang Jasman

ada bisik dalam telur sebelum jadi mata sapi
sayang kupingmu pekak, tak peduli

ada suara dikatakan ayam sebelum jadi opor
sayang tanganmu terlalu cekatan mencincang

ada desis di bibir ikan sebelum direnangkan di minyak
sayang hidungmu keburu terbius bau gorengnya

ada suara-suara, kau tak terbiasa mendengar
tapi penantiannya sabar, sepanjang umurmu.

ah, sayang, kau akrabi hatimu dengan bising cuma.

2014

DOA SEBUAH LAYANGAN



by. Ang Jasman

duh Gusti..

bila hidupku seumpama layangan
panteng terus ya talinya

bila aku diadu dengan layangan lain
tentu kau amat mafhum kekuatan talimu

bila taliku putus, kejarlah
atau harapkan aku menemukan jalan pulang

dan biarlah aku menari di awan-awan ini
sampai angin tidur dan petang meredup

tapi engkau tidak tidur, bukan?


2014

Kamis, 06 Februari 2014

by. Ang Jasman

kata ini, mata yang mengusap
di lika liku permai wajahmu

kata ini, tangan yang membelai
di hamparan kering lelah tubuhmu

kata ini, pundak yang memikul
salib bebanmu yang angkara mendera

kata ini, suara yang berbisik
mendaras namamu yang madu mempesona

kata ini, namaMu sendiri.

2014