Minggu, 30 November 2014

DI WAJAHMU


Di wajahmu bulan menatapku seperti abadi
Menari di ujung jemari meski sendiri
Terangmu meliuk di antara gang-gang sempit
Di Jatipadang, mengapung di genang banjir.


Di wajahmu bulan membisikku seperti kenari
Menyiulkan lagu sepi di sepanjang detik
Sepasang pengamen menyanyikan lagu kenangan
Kata-kata jadi diam dan monitor jadi putih.


Di wajahmu bulan melambaiku mau pamit
Jendela kamar kubiarkan melompong
Sambil tergolek dan buku di tangan kukerling
Kau tak ada di sana, silau mentari mengusirmu.


AJ/2014

SALJU AWAL DESEMBER


ketika angin kencang musim gugur menerbangkan dedaunan kering
kau serahkan buku puisi "Une Saison en Enfer" karya Rimbaud

di senangku kukecup pipimu dan kau tegakkan leher jaketku
saat itu salju pertama bulan Desember menerpa wajah kita.

seulas senyum di bibirmu, lantas kau dekap erat dadaku
langit cerah, burung-burung bergerombol di dahan-dahan gundul

alam telah menciptakan kehidupan baru, kebiasaan baru
"kita bakal sering minum anggur," tentu setelah sinau di ruang kuliah.

masih kusimpan di ingatan musim dingin tahun lalu
salju pertama dalam hidupku yang kautimpukkan disertai renyah tawa

lalu kau dan Alain bawakan aku sepasang sepatu bot berbulu
kalian dandani seorang anak khatulistiwa lalu diserahkan kepada alam.


AJ/2014

DAN WAKTU PUN TERDIAM


Dari tatapmu rindu menghambur ke dalam ceruk
Air matamu mengisinya dan ikan meliuk-liuk berenang
Mendung mengusap duka di wajahmu yang merambat
Menziarahi doa-doa di pelataran awan lalu meringkuk.


Kesedihan adalah awal rupa yang direnda ke segala arah
“Jangan tanya rompi atau sweeter,” jemarimu menarikan hari
Maka kugenapi rejeki hari ini dengan syukur dan senyummu
Dentang dari gereja tua mengiringi hangat kopi petang.


Gulita mengintai di halaman, menunggu depan jendela dan pintu
Ruang ini terang oleh binar matamu dan api lilin yang menari diam
Aku tertegun merasakan waktu yang diam, lonceng bandul yang diam
Aku senyum dan menebak, beginilah keabadian di surga kelak.


Manis cherri di ujung lidah mengundangku ke dunia masa lalumu
Pohon di tepi halaman itu cerita tentang angin dan musim di sini
Juga seputar dirimu yang hilang muncul di rindu kerabatmu
Mungkinkah kau lari dari pelukan nasib dan karma yang pasti.


“Selalu ada yang lain di antara kita,” kau memotong keju bau kaus kaki
Yang paling kusuka di tiap makan malam. Aku merasa waktu menunggu
Dengan cemburu. Tapi kita tak pernah tergesa saling memasang cincin
Dentang menggema lagi menawarkan mimpi di bantal-bantal kita.


AJ/2014

SUATU KETIKA


Suatu ketika, saat itu bumi mengapung tak tentu
Terang di mana-mana meski tak ada sumber yang pasti
Kegelapan belum lahir namun takut pada yang jahat sudah
Menggelitiki syaraf dan memancing mata jadi awas.


Tiba-tiba bumi menyeruak ke dalam perut tapi terang
Berdiri di luar menanti dengan setia karena ia belum dikenalkan
Pada ketiadaan dirinya
Tak ada bimbang ketika damai tergelar lepas.


Tiba-tiba angin menghantam tubuh hingga terhuyung
Gempa menggelepar menarikan geraknya yang lembayung
Laut tergoncang, samudera tumpah menyerbu rumah-rumah
tumbuhan berbagai rupa menyembul di pori-pori tubuh.


Dan segala jenis hewan berlompatan dari lubang mulut
Telinga, dan dubur dan kemaluan membawa lari sifat-sifat mereka
Bersama air mata yang meleleh segala jenis ikan menghambur
Menyertai para perempuan ke perigi, empang dan lubuk.


Maka sejak dulu itu, ketermangguan menjadi bagian perciptaan
Tapi diam bukan melamun dan memimpikan bayangan belaka
Rasa lapar dan haus menuntun pada pencarian dan berbagi
Atau saling menatap dan memandang titik hujan jatuh di tanah.


AJ/2014

Senin, 24 November 2014

J A R A K

Sebentar lagi desember
saat kita canda dengan salju
saling timpuk seperti cinta kita yang kanak
tangan saling mencekal ketika kaki menjejak
di bukit timur kota Dijon.



Di muka perapian ada remah roti dan sisa keju
dan sedikit anggur merah di gelas-gelas berkaki
“waktu tak pernah berhianat pada kita, kekasih”
tapi di keretak kayu terbakar
kau mendesah dan tetap mengeluh
“lajunya yang mengendap dan merenggangkan jarak
diam-diam mengubur semua kenang di pelatarannya. »


Ketika menambahkan kayu, malam makin genap
hangat ruangan mengembalikan waktu ke jalurnya.


Meski tanpa mentari kilau salju pagi ini berbagi
terang seperti buat kita berdua, kekasih
ah masih ada tawa dan cerlang wajahmu
berserah pada kerut-merut yang makin nyata
“ya kita berserah, melarung semua harap di arusnya
berkaca pada Seinne, Serayu atau Mahakam.”


Sesaat lagi kutinggalkan kotamu
sebentar lagi kau akan sendiri dililit jemu
“tapi kita tak pernah dipisahkan oleh jalan, kekasih
percayalah meski arah dan jalur meminta langkah
dari bukitmu doa-doa mempersatukan mimpi-mimpi
kelak waktu akan membujuk jarak buat kita
dan pada umur kita harus mempercaya.”


AJ/2014

P E R G I


tak ada lagi jejak kita di dangau ini
wangi tubuhmu masih mengendap di sini
ada semut berbaris membawa sisa nasi
mereka tak bertanya ke mana pergimu.


padi mengeluarkan bulir-bulir hijau kini
sebentar lagi burung pipit menyambangi
saat itu menguning dan ranum berisi
mereka sibuk sendiri tak peduli adamu.


di bukit ini harapan dikubur di sela kabut
di desir lembut angin di bulir padi saat pagi
hati makin bertalu tapi kau enggan berbagi
mungkin sejak lama kau pupuk niat itu : pergi.


AJ/2014

KENANGAN


hari makin redup sebentar lagi Paris berhias cahaya
dan cinta kita menari samba di atas sungai Seine, Isabelle
wajahmu yang pucat bercerita tentang bukit di selatan
cemburu pada pantulan lampu di sepanjang tepian
di biru matamu diam-diam kusembunyikan hatiku.


di awal musim gugur kulewatkan di kotamu
di teras sebuah café selembar daun gugur di atas meja
seperti mau pamit sedang angin bertiup makin kencang
“Kusimpan daun ini dalam buku,” kau bersungguh
“Kelak ada jejak di lembaran itu tentang kita di sini.”
biru matamu makin cerlang dan kau mengangguk
angin seperti ikut mengiyakan mengirim daun-daun kering.


di Dijon tercium wangi anggur dari bukit-bukit
kau gambar cintamu di baris-baris buku catatan
malam makin mendesak agar kita menuntaskan cinta
sebelum kereta pagi membawaku ke Paris.


AJ/2014

PUISI YANG KAU PINTA


Beri aku puisi, pintamu
Di antara denting piano yang mengetuk dinding
Senyum yang menari-nari di atas tuts
Tiba-tiba aku ragu menuliskannya.
Puisikah atau kata atau rima
Serupa mercu suar di tebing tanjung
Dalam kegelapan menyuarakan sebuah irama.
Kau pasti tahu, pena itu adalah diriku
Dan darah hari kujadikan dawat buat bertutur
Berkisah tentang laparku dan lelah
Kaki berkeretak di debu jalanan kota.


Inginku serupa kenari yang tahu pintamu
Seribu cericit gugup di paruhnya
Menyemai harap kian ranum
Tapi di titik itu aku mematung dan kelu.


AJ/2014

H A U S


ada percik air jatuh di kepala dan harum tanah
di pertigaan Jatipadang jalan mulai lengang dan senyap


ranting-ranting basah berbagi tetes kesegaran. di pucuknya
disapanya haus dan laparku yang berdendang seharian.


tirai rinai melayang turun hingga penghabisan. di mata pejam
terbayang jalan, rumah, sawah-ladang berpesta basah.


bumi yang menyusu pada alam selalu bawa kisah
di keteduhan tepi jalan tapi kenapa tenggorokan ini
sudah tujuh mata air berebut menawarkan kelegaan
haus malah kian mencekik meminta air yang tak ada
telah lewat hujan setelah tujuh kemarau leher tak juga basah
haus bersimaharaja tak henti menyeret tubuh
merayap ke tujuh tepian telaga dan tujuh tasik.


Bunda masih basahkah desa kita dan menebus dahagamu?
[aku diam-diam mengurai haus paling laknat ini]
aku ingin mandi di bawah hujan dan kau menyiapkan handuk
dan senyum dan sepasang tangan yang memupus haus.


AJ/2014

BUKAN NGENGAT


Angkasa perlahan pucat seperti sungkan
Seiring subuh denting bergemerincing tak putus
Ribuan jalan yang meliuk-liuk mendadak lurus
Ada rasa hormat yang sulit dikatakan.


Sepenggalah di atas legam tubuh yang meranggas
Langit retak-retak serupa cangkang telur
Awan menggumpal sebesar bukit sekeras gunung
Jalan-jalan menjadi rata, terjal tanjakan pun lenyap


Ini bukan sulap, tidak pula mukzijat
Kisah-kisah sudah mencatatnya begitu
Seribu langkah, seribu jalan dan arah baur menyatu
Seribu pejalan menggumam doa, syukur dan serapah.


Dzikir di bibir melampaui sayap malaikat
Ada sosok tersenyum dan cahaya menuntun
Perjalanan menumbuhkan sayap di kaki dan sekujur tubuh
Ini bukan upah, tidak pula pahala tercurah.


Sejak awal seyogianya cengkeram erat
Sebelum kaki lemas lumpuh dan mata rabun
Tapi memang sulit buat perjanjian dan dirimu yang rapuh
Perjalanan ini tak teruntuk seekor ngengat.


AJ/2014