Kamis, 29 Mei 2014

PADA PAGI


pada pagi kau menarik nafas penuh
kau hembus pada malam yang melegakan
gelisahmu menggelepar di jambangan.
sepi.
: segala terlempar luruh.

angan tak lagi menjadi kapas
mengapung di kedalaman langit
lalu memojokkan segala ingin.
semua.
: tembok makin menghimpit.

dulu sudut-sudut ini kau kenali
tiap detikmu harapmu perlahan meniti
begitu yakin dirimu pada janji-janjinya.
pagi.
: kau menatap jendelamu kembali.

AJ  /2014

DAN KAU PUN MELIHAT


berharaplah suatu waktu matamu dibasuh karunia
melihat bebijian berubah jadi kecambah
lalu tumbuh sebagai pohon dengan kehijauan daun
atau melihat rebung mengubah diri jadi bambu
dan bulir-bulir padi mulai bernas.

alam selalu bercerita dengan senandungnya
dengan partitur yang sudah selesai ditulis
yang tersisa tinggal langkah-langkah
memainkan perannya sendiri-sendiri.

mestinya hatimu teriris dan tak tega kau kibaskan
seperti tawon yang sesal tak menciumi putik
membiarkan seikat bunga layu di jambangan
atau remah nasi yang terbuang di kolong meja.

renungkan tentang ruhmu yang bertanya selalu
seperti tentang nyanyian yang mendadak terhenti
dan irama yang menggantung di tenggorokan
lembah dengan suara dari kejauhan yang terputus.

telah dibekali dirimu dengan sejumlah kebijaksanan
yang kau dengar sejak diayunan hingga bangku sekolah
di sela memeras keringat dan pencarian jati dirimu
sampai kau tertegun bertemu arah yang milikmu sendiri.


AJ / 2014

PURNAMA BULAN JUNI


sssttt.. jangan, jangan
jangan kau ganggu permukaan perigi
biarlah rembulan menarikan purnama
bersampur gemulai tubuh kekasihku.

jangan sesekali lempar batu atau sebiji kerikil
seribu riak akan mengacaukan keceriaan mereka
dan kita kehilangan kecantikan dan lagu malam
lihat, daun-daun merunduk diam dan takzim.

duduk saja di sini, di tepi damai dan semilir
mari berkaca pada cerita purba yang digelar
purnama itu lembut luruh mengalunkan tetabuhan
dan aku tersihir, kubiarkan kekasihku direguk cahayanya.

purnama bulan Juni kini menarikan sepi di tiap perigi
kabarkan saja dan bisikkan di tiap dusun dan desa
tentang lelaki yang terkapar di dasarnya, dan
bidadari yang meliuk-liuk pilu di permukaannya.


AJ / 2014

Selasa, 27 Mei 2014

AKU HARAP BUKAN MIMPI


aku berbincang dengan pohon cherie saat itu langit mendung
ranting yang diguncang angin menghujani dengan daun-daun kering
tiba-tiba teringat aku pada pertemuan terakhir yang menekan
siang itu semua gelisah hanya milik kita berdua.

kau mematung di ambang jendela dengan dian dan dupa. entahlah
harum mengambang di udara dan taman jadi terasa senyap
mataku masih terpaku di dadamu yang tanpa busana. seperti enggan
melepaskan pertemuan-pertemuan kecil dengan kecupan kecil.

kau asapi tubuhmu yang pualam. patung dewi venus di musium louvre
dan candamu yang menggoda kelelakianku, masih hangat terasa
seperti makanan di resto mahasiswa dan kita antri dengan sabar
atau kerlingmu di rung kuliah ketika aku bingung tak mengerti.

kini aku di halaman kampus, tegak dan sendiri di antara salju turun
kenangan ini akan lama berulang di hari-hari mendatang. entah kapan
tak bisa aku memintamu meski dengan teriakan meninggi angkasa
aku hanya bisa berharap, tak lagi di mimpi malam-malamku terjadi.
 

AJ / 2014

DATANG MALAM


kau namai kenangan bayang  yang menyelinap
angin termangu di sini menata lembaran lalu

di rak-rak buku terselip buku harianmu
jendela kamar nganga tak ada desir mainkan daunnya

di luar gelap. diam. terpaku menatap wajahmu
yang tak lelah berpacu memburu kalender

sendiri lagi di saatmu. ini detik melenggang lalu.
kau cuma bisa bercakap dengan hatimu

sedang pikiran melayang dalam kembaranya
ah aku tidak sendiri, lirihmu tak pasti.

pada hidup. perlukah menawarkan perhitungan
bila masa lalu telah menyusun kisahmu kini?

yang jadi tanggungan kini. dan nanti. kelak.
bila pelatarannya jadi asing tak kenal datangmu.
 

AJ / 2014

Kamis, 22 Mei 2014

KUPU-KUPU


gulita ini serupa jelaga yang mengkafani 
pekat, menghangatkan
ini pasti pelukmu aku akan diam pasrah 
kubiarkan doa mengalir
aku tahu kau tengah merenda nasib yang mesti kupikul 
lewat tubuh, kaki dan sayap-sayap yang bertumbuh.


lalu kau tiup lembut ruh ke dalam paruku
gelinjang geli membuat kakiku menendang-nendang kepompong 
lalu kau serahkan segalanya pada semesta
ia mengerti hukum-hukummu yang rapi merajut. 


suatu ketika. pagi benderang menadahkan tangan
mengecup mesra indah sayapku dengan hangatnya 
tiba-tiba tubuhku terlontar dengan sayap mengepak
menerbangkan diriku yang terpana takjub. 


aku mengapung. seribu warna-warni bunga riuh mengundangku
menyuguhkan seribu putik mengandung madu 
mempertemukan dengan sesamaku dan saling mencintai
oh, semesta, terima kasih untuk hariku.


akankah kulintasi tujuh mentari dengan selamat
tak ada galah atau jaring mencegat, dan pemangsa
ah, kenapa mesti kurepoti pikiranku dengan kegelisahan
hidup baru saja kunikmati dengan nafasku.
  

AJ / 2014

KAU, SORE, AKU



sore malu-malu menggamit lenganku
menghampir kamu membawakan cappuccino, bisiknya 
jangan ucapkan goodbye atau kata yang membuatmu kelu
dan ia minta kupeluk petang di celah tiap langkahmu. 


kesendirianmu sering mencampakkan harapan
jalan yang pernah kita tapaki menghapus jejak-jejak
 tak ada lagi gedung unik dimana kita berteduh
kota ini begitu angkuh dan dingin. aku sendiri disini. 


maaf. seringkali aku selfish dan tak mengerti dirimu
meski sebuah senyum sudah cukup buat mimpimu 
dungunya aku. lebih suka mengadu pada sepi
sedang kau tak henti mengibaskan sayap-sayap perih. 


sore makin jauh, petang masih enggan menjemput
di permukaan Seine mengapung segumpal rumput.


AJ / 2014

B O L A


Cukup. Kenapa berpuas pada sorak sorai itu
dan diharap menggemuruh ke seluruh kota
buat apa mencuri bola di kaki sesama 
kemudian saling menelikung dengan kaki lawan
lalu berkutat menjaga bola itu di kakimu
sebelum kau sempat menggolkan ke gawangnya


Ketika pertama meninggalkan rumah kau sudah tahu
begitu kaki menjejak lapangan sebelas lawan menunggu 
memperebut dan menggiring bola nasib sendiri-sendiri
di lapangan yang luas 
tak berpenonton
tak punya tepi . 


Lapangan itu dan jalan menuju ke sana adalah milikmu
mengundangmu setiap saat agar datang ke sana 
menendang dan menggiring bola nasibmu melawan waktu
berlari ke gawang yang kau tahu ada di seberang dirimu. 


Pun kau tahu lapanganmu dikepung musim-musim
basah di penghujan atau jadi padang debu di kering kemarau 
di sini hati kecilmu bimbang dan tahu,  bahkan pada sepatumu
tak bisa kau gantungkan harapmu pada dukungan penonton 
mereka cuma siap setiap saat menyoraki kegagalanmu.


Jadi. Siap-kuatkan kakimu mendepa tiap jengkal rumput
menggiring bola nasibku ke gawang entah di mana. 


AJ / 2014

Kamis, 15 Mei 2014

SAJAK JEMARI


kuhitung-hitung jemariku
tak pernah cukup menjumlah cintamu

kuderet-deret jemariku
terlalu banyak mengeja hatimu

kujejak kakiku di gigir waktu
di ujung sana kau tentu telah menunggu

kulepas mata memandang bukit-bukit
ah, kau di awan dan terus saja merakit

abaikan, biarlah aku berserah pada kini
membebat waktu mengekalkan diri.


AJ / 2014

A D A K A H


adakah lagi kata masih tersisa buat dilarutkan
sedang lembaran sudah ditulisi hingga jilid penutup?

adakah lagi hati berbagi pada mentari pada rembulan
sedang bisik kehilangan lidah dan bibir telah lama kuyup?

adakah lagi langkah-langkah mesti menggumuli jalan
sedang kutub melucuti jarak dan ruang pun mengatup?

adakah lagi kau dan aku saling bersetia mendepa hari?
ah, sungai makin tak peduli terus menjauh membawa arus.


AJ / 2014

DOA MUSIM


musim semi berpacu di tubuh kita menuju utara
mengirim hangat uap teluk dari selatan
diam-diam mengendapkan kabar di kamarmu
disembunyikan di antara bantal mimpimu
tercium harum lavender di atas bukit
mengungkap kasmaran di sekujur tubuhmu

rindu tak lagi milikku meski harap selalu was-was
kuatir tak juga berlabuh di harimu
ditimbang gelombang tanpa arah
sedang kau tak pernah mengerti
atau merasakan kuncup yang bermekaran

adakah hidup di genggammu? masihkah?

seperti hijau di tanah leluhur desa Ciapus
bunga kemladingan di gigir bukit, senyummu
serupa jambu air yang menjanjikan manisnya
kusaksikan lagi dengan rinduku gemulai tarimu
di tengah pelataran dusun dan riuh gamelan
di sela decak tetua desa dan bundamu
aku mencuri lekuk tubuhmu
dan kuterbangkan ke dalam musim
menyelinap di awan dan lembar almanak.

AJ / 2014

PESAN MEI


ada yang mau kutanyakan, ah, dia tak lagi di sini
kukabarkan saja pada hati sendiri sedang dinding sudah punya cerita
darah itu masih hangat dan api menarikan remang di wajahnya
kemana dia padahal pintu sejak lama mengangakan hati bunda.

ada yang selalu bertalu dalam benak, tapi, bunda teramat kelu
kabar yang diharap dinanti diam-diam tak bawa anaknya pulang
hanya sepotong KTP membawa hangus tubuhnya tanpa laminating
dia tinggalkan tulisan di dinding toko di atas gosong tubuhnya.

"sialan, mereka menipu kita."


AJ / 2014