Senin, 30 April 2012

Rindumu Di Kuning Daun Belimbing


tadi pagi rindumu menetes satu-satu bersama embun
seperti rinai mampir di dedaun belimbing yang mungil
maaf, baru teringat ketika suaramu menyapa di telepon.

kilau titik-titik air di dedaun belimbing itu pada cerita
"jangan biarkan dia lesap direngkuh terik
bening hatinya ingin memeluk setiamu."

di pagi dingin ini ingin kukecup lembut bibirmu
di titik-titik air kerinduan itu aku tersentak
desir angin menggoyang reranting seketika
kuning daun-daun belimbing itu melayang bertebaran
rebah pasrah menyerahkan mebun pada hijau rerumputan


4/2012

Minggu, 29 April 2012

Nyanyian Seorang Lelaki Bungkuk



Lihat! Seorang pejalan malam dipanggang bening subuh
bungkuk tubuhnya memikul salib kerinduan teramat panjang
sepasang kakinya yang kering dengan setia meniti jalan jelaga.
Tak peduli dingin memembekukan arah pulang
api di dadanya membakar reranting yang merintang
selalu terbetik harap di dasar ruh menguak tabir halimun.

Dikuatkannya tekadnya di penghujung sisa napas buat menyudahi langkah
sekujur tubuhnya basah kepasrahan yang tak sudah seperti ricik hujan
setia menggantikan kemarau kembali membasuh bumi.

Di penghujung sisa nafas tinggal satu
mentari dari Tabriz menyapa dengan silaunya
juga senyum lembut Jalalluddin Rumi murid terkasihnya .

Ada juga kepak anggun rajawali al-Hallaj dan Siti Jenar
berkalung darah, cinta dan kepasrahan atas nama kasih
seperti Jatayu tersungkur di birahi angkara Sang Rahwana.

Khaidir dan Rabiah al-Adawiah bawa kendi air cinta kasih
pemuas dahaga jiwani penyilih debu-debu duniawi.

Lihat! Seorang pejalanan dengan kaki kering penuh borok
tak serahkan langkahnya meski orang-orang suci itu membasuh dosa
dengan kasih mereka yang tulus.

“Biarkan tubuh busuk ini tersungkur di kakinya dimana debu
lebih lezat dari makanan para raja dunia
lebih indah dari mahkota baiduri para puteri istana.
Kan kulunaskan rinduku dalam tatapannya dibakar agung wajahnya.
Tinggalkan saja aku disini di kaki bukit dan tepian mata air ini
berselimut kabut beralas angin dingin.
Gigil tubuhku adalah tarian ruh paling gemulai.
Gemerutuk gigiku adalah tembang pujian paling merdu.
Kusilang sudah separuh bumi di angin beku dan kemarau
takkan pernah kupinjam langkah kalian.
Terik dan api mentari menyegarkan dadaku
ricik dan air bah mengurai keringatku.
Tinggalkan saja aku disini di jalan yang menjadi bagianku
berteman bulan dan bintang-bintang yang selalu setia menemaniku.”

Syahdan, para suci itu terus mengayun langkah pujian
berjubah cahaya kemuliaan Sang Penyayang
tapi hati mereka tertinggal di dada lelaki bungkuk itu.

Jalan ini memang milik sendiri yang mesti ditempuh
dengan kaki sendiri dan hati meski jarak tak tampak mata
memasuki kuping sendiri menemui Sang Dewa Ruci.


4/2012

Seribu Senja



seribu senja tak lagi bawa kabar sore tadi
awan di atas Lembang terus berarak ke timur
remang berbaur dingin bergemerutuk melawan sendu
halaman rumah makin hening berselimut kering dedaun.

seribu senja tak henti berlalu disini
pun tak bersapa pada waktu.

seribu senja meninggalkan kelu sendiri
pun tak sisakan jarak antara kau dan aku.

detak hari berlari ke pucuk-pucuk bambu dan cemara
makin terasa hati koyak-moyak dicincang takdir
akan tiba seribu senja lagi menyusuri hari
mengarus di kali yang terus menghilir
tinggalkan mata air di kaki Tangkuban Perahu.


4/2012

Sabtu, 28 April 2012

Di Wajah Laut Rindupun Membiru


kau kirim lagi rindumu di alun gelombang samudera
desah keluhmu baur di buih ombak dan kepak camar
mengabarkan hati yang luruh membiru.

kau tinggalkan jejak sejauh bibir pantai
tak ada lagi cerita tentang senja dan cakrawala.

beranda tempat kita meniti dinding hening
telah ditinggalkan sepasang cicak yang mengajari
tentang mimpi hingga mengoyak pagi
tapi kita lupa menitipkan hati di lembar almanak.

segala keluh bicara tentang hati yang kering
semua langkah panjang pun jadi sia
gegas memburu jarak tinggal percuma.

rindu-rindu menari di pucuk-pucuk ombak
mencandai angin laut, buih dan burung camar.
sedang hati tak pernah luluh cair
membiarkan dermaga melepas perahu
di arus gelombang yang kian jauh dan samar.


4/2012

Rabu, 25 April 2012

Hatiku, Adagio

wajahmu hadir di pejam mataku
dirimu mengisi sepenuh kelopak jiwaku
hadirmu adalah tembang "Adagio"
mengalir lembut di sulur-sulur nadi jiwaku.

tenanglah
diamlah
hai darahku, dia meyapamu di tiap detak jantungmu
dia bersamamu di detik tarikan napasmu.

singkirkan saja pikiranmu
singkirkan saja doa-doamu.

karena dia adalah denting kecapi di malam keheningan
karena dia adalah tembang cianjuran merayap di bukit ipis

karena dia adalah mentari tersenyum
pada gunung
pada hutan
pada sungai
pada hati yang pasrah damai.

4/2012

Sabtu, 14 April 2012

Come, Draw Near

Come, draw near to me with no hesitation
Shake your feet off the snare of the time past
I care not for your raiment, nor your shoes or jewerly
Neither shall I give a damn about your name
Leave those burdens at the salvage hut
Set your heart to the reaches of the Pillars of Cloud
That have anwaveringly led you thus far.

Come, render yourself to be one with the clamor of the travellers
Gulp down that oldest wine, sweeter than the wild honey
Embrace the bright stars before darkness decimate them
Let yourself adrift in the fiercest of waves
Surrender your body a-soared by the most ancient tempest

Never fear that the waves shall carry you
Never doubt the tempest shall careen you
The whitest light shall bring the warmth of mother's embrace
Warmer than a hectare of quilt arrayed by a thousand angels

Shhh...
Quiet.
Be Silence.
Hark! Listen to the balad, a song of utmost serenity
whilst the drummers are however veiled, hidden amongst the clouds
The serene mellody glided in the space of the universe reflecting the stars
entwined with the luminosity of most pure

Your ears are not wet forest mushrooms. So listen!
Your eyes should not be let weak and dim. So look!

Be haste now and catch up with the travelers before you crumbled
And your body shall evanesce in vain, gobled by millions of maggots
While your soul floats with neither aim nor bearing.

2012


*English version by Aditya Sylvana

Kamis, 12 April 2012

Maaf

Maaf, tak sempat kusebut namamu
aku luruh entah dimana. Kakiku mengambang
bumi melambungkan tubuh fana ini
ketika menyebut namanya.

Maaf, tak sanggup kutulis namamu
aku larut dalam kata. Jemariku kelu melayang
diterbangkan kacau angin dan awan
ketika menulis namanya.

Maaf, tak lagi bisa kubayangkan wajahmu
dalam pekat gulita. Kulihat sinar biru mendatang
menawarkan sampur amat menawan
aku pun menari bersamanya
diiring tetabuh bening
diiring dentang hening
menyelimuti tubuh dalam sepi paling purba.

Jangan urai tanganmu biarlah kucekal penuh
ijinkan aku luruh di rumah abadimu jadi batu
undakanmu. Agar aku leluasa mencium telapakmu
di tiap langkahmu yang lembut perkasa.


4/2012

Selasa, 03 April 2012

Aku, Kata, Aksara



berjuta kata dan aksara berdesakan, berhamburan
dari batin sunyiku sedang sepuluh jari tak kuasa
terhimpit makna-makna yang blingsatan dalam benak
beribu kata dengan leluasa menikamkan belati panas tanpa belas
tubuhku bagai kapas melayang diayun tembang padang ilalang
tubuhku bagai gasing ditarik petir di pucuk-pucuk bambu
tubuhku tak bernyawa diterbangkan mega-mega yang bergerak ke timur

aksara, kembalikan jiwaku sebelum tiba di cakrawala
atau mentari menelanku serta ke ujung samudera


3/2012