Jumat, 24 Februari 2012

Kemari, Datanglah


Kemari, datang saja padaku jangan ragu
Lepaskan jerat masa lalu di kakimu itu
Aku tak peduli kemeja, sepatu, perhiasanmu
Masa bodoh juga dengan namamu
Tinggalkan saja beban itu di gudang barang tua
Tetapkan hatimu pada uluran tiang-tiang awan
Yang setia menuntunmu.

Mari satu-leburkan dirimu dalam riuh para pejalan
Reguk itu anggur paling tua, lebih manis dari madu hutan
Peluk bintang gemintang sebelum terhapus kelam
Hanyutkan dirimu dalam gelombang paling dahsyat
Serahkan tubuhku diterbangkan badai paling purba

Jangan ragu gelombang membopongmu
Jangan bimbang badai menimangmu .
Cahaya paling putih bawa kehangatan peluk ibu
Melebihi sehektar selimut yang digelar seribu bidadari.
 
Sstt.
Diam.
Tenang.
Dengar, dengar senandung itu, nyanyian paling syahdu
Meski para penabuh tak tampak, bersembunyi di awan-awan
Irama hening itu menyelinap di sela semesta terpantul bintang
Berkelindan dengan cahaya paling bening.

Kupingmu bukan jamur hutan basah. Dengarkan.
Matamu jangan biarkan lamur dan rabun. Lihatlah.

Kejar cepat para pejalan malam itu sebelum kau lumat
Dan tubuhmu menguap sia-sia dilahap selaksa ulat
Sedang sukmamu melayang tak tentu arah dan kiblat.



2/2012

ANG JASMAN

Kau

kau kira adamu berangkat dari nafasmu
kau hujat hidup

kau duga silang-siur badai menjegal nasibmu
kau hujat takdir

kau yakin hari-hari tega mencuri langkahmu
kau hujat pedih

kau hujat malam penghantar gelap dan galau
kau hujat siang pembawa hujan dan kemarau

musim demi musim tak henti melipat hati
sebelum segala sudah kau telan matahari.




2012

ANG JASMAN

I Whsiper Your Name In Every Breath That I Take


your name flows here
in the peaceful throbs of my vein

your name carves here
the entire form of my soul, all along my life time

Your name gave live to my life here
amongst the bird songs and the wind's dances
at the crown of the bamboo groves and the yellowing rice field
at the sweet smile and glance of a young girl
at every twist and turn of the road, seasons, and clouds

I whisper your name in every breath that I take


2/2012
ANG JASMAN

(Translated by Aditya Sylvana Day)

Rabu, 22 Februari 2012

Kubisikan Namamu Di Nafasku



Namamu mengalir disini
dalam damai sepanjang nadi darahku.

Namamu mengukir disini
segenap wujud jiwaku di tiap waktuku.

Namamu menghidupi hidupku disini
di sela kicau dan tarian angin
di pucuk aur dan sawah menguning
di senyum manis dan kerling anak perawan
di segala liku jalan, musim dan awan.
 

Kubisikan namamu di nafasku.

2/2012

ANG JASMAN

Tak Ada Senyum Di Beranda Ini



Maaf aku lupa mengatakan selamat tinggal. Baru tersadar
langkahku sudah mendepa jarak tak terhingga. Di perjalanan
bersendiri dengan langkah, kerikil dan debu tanah merah.
...
Bimbang selalu saja menanda merah di almanak. Dimana lagi
mimpi terserak di lembaran buku tua dan terlupa. Aku tergesa
menembus batas mimpi sebelum pagi menggelar api.

Senyum yang kau tinggalkan sore tadi diberanda ini
diam-diam menyelinap di celah dinding retak. Keluar
sisakan ragu membatu di jejaring waktu. Ketika kelam
menyapa segalanya

cuma beku 
cuma kelu. Aku.

2/2012

ANG JASMAN

Engkau Nahkoda Engkau Laut

by Ang Jasman on Wednesday, February 22, 2012 at 12:42pm ·


Beribu malam namamu kusebut
wajah ini hilang rupa hilang bentuk
kubaringkan lidah ini di punggung malam
biarlah beku bibir ini dalam dingin.

Beribu malam namamu kusebut
kupejam mata memandang gulita
aku penumpang gelap tanpa nama tanpa rupa
kau biarkan aku serta
menaruh kepalaku dalam damai
gelombang badai tunduk pada perintahmu
angin barat angin sakal berserah pada tatapmu
engkau nahkoda,
engkau perahu
engkau laut
engkau arah
engkau dermaga
aku berlayar dalam hening napasmu
aku meluncur bersama senyap anginmu
aku terbang di kepak lembut sayapmu.

kini aku tetes laut ricik hujan
berserah pada awan putih kapas
berserah pada tanah umbi akar
bagi hijau dedaunan dan buah yang ranum
kelak kembali padamu bersama cerlang mentari.

2/2012
ANG JASMAN

Cemburu

by Ang Jasman on Tuesday, January 3, 2012 at 1:37pm ·
 
 
Dalam termangu di kubang pedih-perih kesendirian
kau menyergap dengan kasihmu tiba-tiba
tak kuduga-kuharap sepanjang langkah ini dan kini.

Seperti mentari, cintamu memburu
menjejalkan cemburu.


1/2012

Tembusi Remang Itu

by Ang Jasman on Friday, October 7, 2011 at 9:55am ·


dan malam berkeluh dalam irama senyap
rumah-rumah bambu sudah menutup pintu
obor melenggang-lenggok menarikan sepi
awan mengambang di permukaan kolam
rembulan hanyut di dasarnya
segala bimbang membuat gelisah cuma.

pilihan tak perlu didesakkan atau biarkan saja
mengalir di putaran jarum jam sepenuhnya
membiak damai di pusat hati.

mengalir saja ikuti irama waktu jangan ragu
hidup punya irama sendiri di sulur-sulur
batang dan daun yang rimbun
bunga merekah dan buah ranum pada saatnya
setelah kunjungan kumbang yang sabar membagi
putik sari di kuncup-kuncup.

hanyutkan remang sebelum kau sendiri kering
dan gersang.


10/2011


*Sajak di atas merupakan buah latihan pada lokakarya Atelier Menulis Sajak di hari-9. Kritik dan saran pada latihan yang lalu telah memberi warna tersendiri. Demikian hendaknya untuk oretan di hari terakhir ini. Terima kasih.*

Menunggu Senja Masih Biru

by Ang Jasman on Thursday, October 6, 2011 at 1:29am ·


Mula-mula sebuah halte tak terurus dan rudin. Awan memeluk jalan
sebuah metromini berlalu kencang menyisakan gulungan jelaga
kau tergunjang namun tetap beku sayu.
Di jarak waktu, sayup adzan asar
dan ricik gerimis di genangan
terasa menyembilu
menunggu senja masih biru.

10/2011


*Sajak di atas adalah hasil latihan menulis pada loka karya “Atelier Menulis Puisi” di hari ke-8.

Disebalik Kata

by Ang Jasman on Wednesday, October 5, 2011 at 2:08am ·


Belum sempat punggung direbah-luruskan dengan lega
sumpah serapah dan kesal bergemerutuk di sebalik dinding bambu.
Senyap sejenak. Desir reranting balas menampar muka
suara-suara itu seketika muncul terus mendesak  dan
mencopot lidah. Raungan pedih tak mengurangi rasa sakit pun
penyesalan.

Ah, memang keterlaluan
sejak entah kau diperalat, diperbudak, ditunggangi .


Tatkala girang meledakkan dada seenaknya menyumpah serapah dalam
bau bir atau arak. Tatkala rungsing melampiaskan marah pada opas
dan juru tik karena salah secuil atau terlambat bawa kopi.  Tatkala janji-janji
diucapkan tanpa niat sungguh di awal jabatan atau di meja nikah. Tatkala duka
meremas jiwa  meluncurkan doa-doa panjang yang bahkan tak perlu. Tatkala
anak-anak sekolah gamang menggauli makna yang menjelujur di berbagai
buku dan sejarah. Tatkala niat baik cuma disampirkan di tali jemuran
dan tiang-tiang nyaris rubuh.

Kau tak mengeluh. Namun darah lesap ke perut bumi bawa dendam
sepanjang keturunan. Kini ambil saja kembali makna yang dihampakan itu,
diselewengkan itu bahkan dikentuti dengan suka cita itu.

Sebaiknya memang begitu sebelum segala jadi compang-camping. Sebelum
orang-orang kehilangan sesama terseret di rimba hampa makna.
Sisakan sedikit saja buat para penyair meringkuk di hangat lekuk likumu, meliuk
di lentur gemulai tubuhmu, berenang di panas gairah darahmu.  Dimana
kau menemukan harimu.


10/2011

Sendiri, Sendiri dan Sendiri

by Ang Jasman on Tuesday, October 4, 2011 at 1:45am ·
 
SENDIRI

Undakan batu di gerbang tua dingin dan bisu
terasa  senyap ditingkah siul burung yang terbuang
mendesir kepak lalu bawa kisah sendiri
tak ada lagi yang menyambut dan senyum ngungun
di dedaunan melayang.

Perjalanan menggelindingkan roda begitu jauh
kota seperti tampak ternyata cakrawala kosong
cuma menyisakan bau comberan dan sampah busuk
juga bau bacin di sana sini dan tanah kumuh.

Jalan kita memang beda arah pun lain
kita tak dipertemukan meski sapa cuma
angin lalu merenggut makin renggang
dingin dan bisu. Bukan salahmu
kau memang tak tahu perhitungan.

10/2011

*Sajak ini merupakan hasil latihan menulis dalam loka karya Atelier Menulis Puisi, hari ke-6. Tentu banyak kekurangan, karenanya kritik dan saran seyogianya diberikan.*

Lagu Luka Lagu Duka

by Ang Jasman on Monday, October 3, 2011 at 11:56am ·


Sudah berapa kali kugores luka yang itu juga
di wajahmu, aku lupa aku tak menghitung
di kemarau lalu yang kering luka itu garing
kau meringis ketika kulepas. Lukaku
menjadi lukamu.

Pun di tiap cemasku memburu aku tikam duka
ke  jantungmu,  kau tak melenguh
tak mengeluh
kau malah senyum mengikutiku dalam diam dan pasrah.
Sesungguhnya duka itu milikku sendiri.

Lalu kita berbagi luka lagi di terik mentari siang tadi
ketika pagi membisiki janji. Kita pun gegas memburu
peluh hari yang tergelincir bersama senja.

Luka
Duka
mari kita reguk panas nanahnya sebelum ragu
membuat kita jadi beku kelu.


10/2011

Senja Di Beranda

by Ang Jasman on Friday, September 30, 2011 at 10:04pm ·
 
DI BERANDA

Hening di beranda dan remang
kau disana dalam diam yang bening
asyik menginang. Di sisimu sebuah tempolong.

Senja belum lagi turun. Seperti asap pembakaran
burung pipit bercericit meninggalkan sawah.

Dedaun rambutan merunduk di teratak menyertai
pasrah hatimu mengelus lembut tiap kali luka menyayatku lagi
gadis-gadis itu lebih mencintai diri sendiri daripada dirimu.

Beranda makin hitam dan dingin.
Betapa damai bernapas di senyummu.

9/2011


*Sajak ini merupakan hasil latihan menulis di hari ke-4 loka karya pribadi.*

Puisiku Puisimu

by Ang Jasman on Thursday, September 29, 2011 at 10:49pm ·
 



puisi yang kau titip di pucuk lidah kata-kataku
berkembang seperti janin diam-diam merambati sulur napasku
mendesak
menyingkap
menggelinjang
di dada dan seluruh wujudku menyeret ke inti hati
bertubi menikam jantung hingga ceceran darah meratap
tapi aku tak bisa merintih, lirih-parau ditelan abad.


pada desau angin
pada arus sungai
bisikmu berselancar di sela bebatuan dan pucuk bambu
begitu memukau dalam kicau kenari yang riang
aku sering lena dalam buai kidung agungmu
ingin aku berteriak dengan suaramu
terbang dengan sayapmu.
di keruh napas
di pekat keringat
pundakmu makin lengkung ditindih beban makin garang
membuatku tertunduk merenungi pesan yang disisip
di sela tembok-tembok kota yang berdandan grafiti
begitu rahasia hingga kata-kataku gagap menggapai makna
puisimu tiba-tiba lesap
ingin aku bernapas dalam napasmu
melangkah dengan kakimu.
ijinkan aku menyusu di buah dada puisimu
agar setiap kata-kataku berdarah
agar setiap suaraku bermadah.

9/2011

Lautku

by Ang Jasman on Thursday, September 29, 2011 at 12:34am ·


Sejak  lama aku tak menciummu
berkecipak di biru tubuhmu
mendekap baumu
mencecap asin darahmu.

Pagi ini kau mengirim camar melintas
di beku pikiranku rindumu menggerakkan jemariku
tanpa duga kuraih 100 puisi pilihan “Madura, Luang Prabhang”,
di halaman 33 kutemukan kau, Laut, yang lama
teronggok di lipatan ingatan kau menyapa
lewat baris-baris puisi selamat pagi ujarmu
lalu kau pun akrab berbincang dengan Abdul Hadi WM.

Dan malam ini kau hadir di depanku dalam perbincangan
Maneke Budiman di ruang Komunitas Salihara tentang novel
dan cerpen yang ditulis 3 perempuan pemujamu
kau menjadi latar dalam kisah “Pertarungan” yang ditulis Hanna Rambe
kau menjadi rumah abadi seorang bunda membawa luka buah konflik
sedang di kandungnya janin yang tak sempat lahir, sang “Laluba”
kau debur ombak pulau Bangka dalam “Lelaki Beraroma Kebun”
dalam Linda Christanty sebagai kenangan manis akan pulaunya.

Kini dalam mabuk kegirangan kucumbu dan kuciumi
kau dalam bayang anganku berkelindan di tubuh telanjangmu
kudekap dan kusesap asinmu mengisi sulur-sulur nadiku
Biarlah suatu hari nanti jasad ini kau timang
mengambang damai di pucuk-pucuk gelombangmu.


9/2011

Sebuah Kenangan Kecil

by Ang Jasman on Tuesday, September 27, 2011 at 10:20pm ·


Aku ingat kini
kuatir telah mengubah wajahmu jadi cemas
di tiap keluhku
kau menitip hatimu yang resah
jemarimu tak henti mengelus dahi
dan berbisik. Doa-doamu tak putus
mengalir dari bibirmu yang manis.

Kurindu kau dengan hati yang penuh
dada ini seperti tak mau jenuh kau isi
cintamu yang tak pernah luruh.

Ingin kudekap kau ke dada
seperti dekapmu
sewaktu aku bayi dulu.
Terimalah kehangatan yang sama
seperti timangmu kala aku sakit dulu.

Ah, Bunda, semua yang tinggal
jadi kenangan kini kutatap nisan cuma.
Sedang kau didekap sepi disana.

Semilir angin lembut menerpa pipi
seakan bibir kasihmu mengecupku.
Bunda kirimi aku senyummu.


9/2011

Nyanyia Orang Lupa

by Ang Jasman on Monday, September 26, 2011 at 5:09pm ·


lihat yang tergelar di lantai pualam ini
melati paling melati
mawar paling mawar
dipetik jemari lentik dengan hati paling wangi
disini pintu selalu tertutup palang seperti dulu
seperti ketika pertama kali di hatimu aku bertamu.


kau tahu siapa penghuni rumah dengan beranda terbuka
disini tembang mengalun luruh dalam wangi melati
disini tetabuhan riuh mengundang langkahmu kemari.


kau kini disini menghitung lipatan tanya dan heran sendiri
di depan beranda terbuka tanpa kata dan jabat
kau bersikukuh berhimpun dengan niat berbagai
seperti leluhurmu mengajari
seperti kitab-kitabmu berkisah
seperti ajaran-ajaranmu mengarat
tapi sudah lama kalian memang lupa wangi melati
tapi sejak purba kalian selalu abai indahnya mawar
memalukan, kau datang dengan hati kerontang
cuma berharap nina bobok di merdu alunan tembang
cuma berharap meliak-liukkan tubuh dalam gegap tetabuhan.
kalian, orang-orang lupa.


9/2011

Persembahan Malam Payu Dara

by Ang Jasman on Friday, September 23, 2011 at 12:50am ·


Ketika itu musim-musim belum dicatat.
Kemarau memetakan kehangatannya dan hujan
menitipkan tetesnya di pepohonan.
Pada hari ke-40 rembulan mengiringi perempuan
telanjang bertubuh pualam menunggang angin.
Di tangannya sebuah piala kristal.
Dedaunan berdesir memberi jalan.

Diiringi gemuruh syahdu paduan koor bintang-bintang
dalam balutan selendang awan.
Piala kristal itu diserahkannya pada lelaki kecintaan.

Lelaki itu tertegun, matanya mendadak sayu.
Di dalam piala kristal tergelar sepasang payu dara berlumur darah.
Ia menyingkir seperti jijik.
Ia bukan tak mau.
Payu dara itu berdenyut-denyut seperti membisikkan sesuatu.

Sebelum angin mengundang pergi, tangan perempuan telanjang bertubuh pualam
meraih payu daranya sendiri dari dalam piala kristal itu lalu dimakannya.
Mulutnya berlumur darah. Dengus nafasnya mengatakan ia menikmati.

Lelaki itu pun tergerak mencicipi tapi ingatannya keburu menelikung
dirinya. Tangannya berubah menjadi batu.
Ia tak mengerti.
Ia dibekukan larangan
yang berjejal di telinga sejak lama.


9/2011

Cinta Shinta

by Ang Jasman on Sunday, September 18, 2011 at 10:01pm ·


Tiba-tiba kau memeluk punggungku. Mengusir hawa dingin
yang bergemerutuk di seluruh sum-sum. Kurasakan malam
menyelinap menanggalkan mimpiku.

Antara gamang dan pasti aku merasa kehadiranmu. Sungguh.
Kau tiba-tiba berada di atas dipanku seperti melayang.
Lalu merebahkan tubuh birahimu di belakangku dan memeluk
dadaku yang terbuka.
Bagai sutera dewangga payudaramu selembut gading terasa
merayap mesra di jantungku. Aku menggeletar oleh bius aroma kulitmu.
Panas tubuhmu memilin mimpi-mimpi kemarau.
Rembulan tak ragu menyambut gapai pucuk-pucuk ilalang.
Malam urung mengirim dingin, berganti bara api.
Kita berbagi gairah yang terus meniti, terus memuncak
Kau pun jalang mendesak menggapitkan kedua pahamu. Panas
gerowongmu langsung memanggang dada.

Malam tiba-tiba bertudungkan gulita. Kau tak lagi
di sana, tak juga di halaman. Dipan mendadak kosong
dan kelu dingin malam seketika jadi beku.

Ah, ya, lebih baik begitu saja.
Cinta tak usah dilelehkan di tubuh menjadi keringat.
Aku pun bebas memujamu dengan kasih yang
lidah-lidah apinya mencapai langit. Sudah lama aku ingin begini.

Dara, izinkan aku tak meminangmu.
Biarlah cinta kita serupa api yang membakar jiwa kita  
seperti api Shinta dengan cintanya yang agung.

Seketika semilir angin menampar wajahku.
Aku tersenyum memandang kepergianmu yang anggun.


9/2011

Kita Hidup Disini, Kita Hidup Kini

by Ang Jasman on Friday, September 16, 2011 at 10:09am ·


Dengan nafas tersengal akhirnya kita tiba disini dengan alas sepatuku yang bolong dan hak sepatumu yang copot. Tapi gelisah ini tak juga menyerah sedang keringat sudah memandikan tubuh. Taman itu masih juga menguntit kita seperti bayangan yang keras kepala dan tolol, sedang buah yang kita makan tadi masih tersisa di celah-celah gigi.

(Buah itu telah memberi pengajaran tentang yang baik dan yang buruk, kita pun bahagia mendapat anugerah besar itu meski  harus meninggalkan taman. )

“Kita disini saja di kerimbunan beringin ini,” ajakmu polos dengan nada kanak-kanak. “Lalu kita berdoa agar malam tak menjemput pagi. Jadi kita terbebas dari bayang itu.”

Tak ada yang  bisa diharap sedang dalam terang pun kita tak berbuat apa-apa.

Kau tersenyum. Tanpa ingin dan cuma iseng, jemarimu memetik dedaunan dan bunga perdu. Kau permainkan sesaat lalu kau lumat, kau tampak lucu seperti bermain masak-masakan. Kau pun berpaling memandang awan di kejauhan dengan wajah berserah dan sorot mata nelangsa.

“Tak ada yang perlu dicampakkan kelak kita kembali ke sana,” ujarmu tiba-tiba bersemangat. “Kita ke pantai saja menikmati batas laut dan cakrawala. Kita berenang di gelombangnya yang selalu bergerak tak sudah. Keleluasannya pun memberi kita nafas menikmati kekinian.”

Ya, ya, cuma kekinian yang kita miliki karena itu kekayaan kita sekarang.

Sebelum aku sadar sengat mentari kau sudah menari bersama gelombang dan angin. Lalu melayang di awan-awan. Jauh disana burung-burung camar ramai bercericis berebut sisa ikan di sebuah perahu.  “Panas mentari dan gelora gelombang adalah milik kita satu-satunya. Bahkan arus yang menyeret tubuh kita ke pusaran samudera jauh terasa begitu menggairahkan dan hidup.”

“Hoiii.., kini kita pemilik syah saat Siddharta Gautama itu!” teriakmu gembira di detik-detik tubuhmu dihisap pusingan air.  Di benakku tergambar, beberapa abad kelak, seorang Siddharta tanpa sepatah kata mengacungkan tangkai mawar di sebuah persamuhan dan semua orang terpaku tak mengerti.


9/2011

Sejarah Yang Berlari

by Ang Jasman on Thursday, September 15, 2011 at 2:07pm ·
 

Orang-orang dengan wajah kecut sibuk menjahit waktu yang rombeng. Tapi mereka
hilang di lembaran kertas almanak yang lepas. Di catatan yang diaduk seluruh zaman
mereka tertelikung segala kabar yang simpang lalang. Sejarah sudah melesat
tanpa ampun, tak terjejak lagi segala luka dan buah ranum zaman. Kini mereka sibuk
mencari seekor anjing untuk melacak di setiap sudutnya.

Gedung-gedung dengan saku dan kantung yang bolong tak bisa lagi menyimpan
catatan, tubuhnya kian gembur namun dingin, tak berperasaan. Wajahnya yang subur
cuma menampilkan keangkuhan yang tolol.

Kita pun dengan tolol mengeja pikiran mereka yang itu juga seperti nenek tua mencari
kutu. Kenyataan menjadi sekedar hapalan di luar kemanusiaan dan peradaban pun tak
membawa kita ke mana-mana.  Kau berdiri di sudut yang sama, aku pun tak enyah ketika
darah kebenaran mengimbas waktu.  Zaman telah menjadi batu tanpa kita tahu.


9/2011

Menatap Arca-Arca

by Ang Jasman on Tuesday, September 13, 2011 at 2:20pm ·
 
ARCA ITU,  AKU

Arca batu aku yang ditahtakan di pucuk segala puja-puji.  Gambaran semua wujud persembahan ketika engkau mulai menyadari tak ada bentuk menyerupa kecuali wajah nurani zamanmu. Di dalam kebekuan aku diabadikan agar dapat disimak kembali sebelum peradaban leleh menjadi bubur bumi.

Aku cermin yang memantul doa-doa. Dengan sosok wajahku aku membasuh daki zaman. Di hanyut arus Serayu dan Ganggga, terbersit syukur yang kusemat di garis cakrawala. Maka aku pun melukis wajahku sendiri dalam parasmu hingga ke penghabisan waktu.

*

Arca tanah aku yang sabar direndam panas tungku pembakaran. Di kedalaman segala wujud pada awal adalah kembara tanpa rupa. Saat itu aku meliuk dengan sayap surgawi dalam sebuah taman yang adalah jantungnya sendiri. Tak ada doa dan tak juga puja karena segala kidung syukur ada bergemetar  dalam dirinya.

Aku pun dihidupi daya yang dikirim di sulur-sulur dan hijau rimbun dedaunan. Berabad aku lelap dalam tubuhku menari-nari riang tak kenal tempat tak peduli lelah. Dan alam tak henti  menggembala musim dengan setia.

*

Arca kayu aku merupa lewat tatal, pahat dan palu. Setelah sulur-sulur akar menyesap sari bumi saling memberi darah, aku menyusu pada angin pada api. Cangkang rumahku segera mengenakan wujudnya dan didandani dengan kicau burung, tenaga sapi, lari kijang dan auman singa.

Dalam bejana waktu aku diterima dan menerima. Suka bersilih tawa, duka merupa lara. Segala menguntit seperti bayangan yang tak lepas walau kelam melumat.

*

Arca angin aku dibentuk di antara jemari dan tawa suka cita di pantai yang kosong. Cuma asin laut yang berkisah tentang biru gelombangnya. Camar tak peduli istana pasir melayang tinggi di permukaan terkurung dalam perburuan. Dermaga dan gudang-gudang tua meringkuk dalam sunyi kian menikam. Aku terpisah sendiri menatap bayang suka cita yang sudah menghilang. Sesaat lagi pasang akan meratakan pasir menjadi putih semula.

Hidup hanyalah bandul ayunan antara dibutuhkan dan tak dipedulikan. Langkah hilang jejak, bertukar angin dengan kandas.

*

Arca air aku dalam alir yang tak henti mengarus sejarah, juga berserah dalam bentuk-bentuk yang mewadah. Demi titah aku mengisi celah dan yang rendah, berenang dalam sulur tanah dan akar. Maka aku pun menjadi kelega’an, tanpaku kau tak mengenal arti kemarau. Damba akan diriku menjadi doa di gurun-gurun.

Dalam doa-doa dan pembersihan dosa aku hadir dengan takzim. Merunduk dan melayani adalah nuraniku yang menjadi inti bumi dan wajah surgawi. Hanya di danauku kau disucikan.

*

Aku arca api dengan kobar menghanguskan segala bila kau tak mengerti makna diriku. Aku mengolah sari bumi bagi kehidupan di tubuhmu, juga segala sesuatu yang menopang di hidupmu.

Nyalaku ada cahaya bagi langkah-langkah para pencari dan panasku menghangatkan jiwa-jiwa  yang  berjalan pulang.



9/2011

Kemarau Tak Mengenal Musim

by Ang Jasman on Friday, September 9, 2011 at 11:46am ·
 
KEMARAU

Siang  menjadi api, seekor kutilang lepas dari sangkar
ia pun bersiul riang di atas bubungan
sebelum terbang ke awan-awan membawa sayapnya.
Kemarau yang dirindu tak juga bertukar mendung atau
mencium bibir-bibir yang pecah di ladang selatan.

Segala dongeng tak lagi dikisahkan disini
rambut pun bergelung tak dibiarkan terurai
matahari terasa di tengkuk yang berubah jadi bara.

Sungai dan kali tinggal bebatuan sepanjang musim
disinggahi embun yang lalu menguap ke langit.
Dedaunan rontok sebelum musim hamil tua
menyisakan reranting menengadahkan doa-doa.

Di tengah panas senyap bocah-bocah meliuk-liuk
bersama layangan mereka menarikan tarian angin.

9/2011

Bunda, Sudah 20 Lebaran Aku Tak Mencium Surga Di Telapak Kakimu

by Ang Jasman on Tuesday, August 30, 2011 at 1:32am ·
 

Bunda, sudah 20 lebaran aku tak mencium surga di telapak kakimu
aku masih juga berkubang debu-debu jalanan di kota ini mengejar makna-makna
sudah lama kugadaikan kertas berbingkai dan toga itu pada kebanggaan hampa
hari-hari cuma menyisakan lelah dan mimpi-mimpi tak sudah
tapi aku terus berkaca pada wajahmu dalam setiap tetes keringat

Bunda, sudah 20 lebaran aku tak memandang teduh ayu wajahmu
aku masih tetap mendekap bening matamu di malam-malam gulita ketika dinginnya
menggelitik tulang-tulangku di mushola tua yang melompong tak berpintu tak berjendela
sebuah lampu tergantung termangu di ketinggian tiang di ujung gang
remangnya menari-nari bersama sepi, aku cuma bisa menghitung detak napasku sendiri
orangorang sudah lama pergi memindahkan mimpi-mimpi ke rumah-rumah batu
di sini akan berdiri apartemen mewah atas nama kekumuhan yang menahun

Bunda, sudah 20 lebaran aku kehilangan senyum alit dan derai tawamu
tak kudengar juga canda sapa semua kerabat yang menyemai hari-hari awal hidupku
mimpi ini, bunda, mimpi ini telah merampok pandanganku membutakan mataku
menyilaukan harap asaku pada tubir kehidupan paling jauh
dalam perih relung kagetiran ini untunglah aku dicumbu Khaidir di mushola tua ini
Rumi dan Syams-i-Tabriz menabuh rebana dan seruling meningkahi rindu-rindu
dibopong dimanja Siti Jenar dan Al-Hallaj dengan kisah-kisah perjalanan
Rabiah pun memberiku makanan abadi yang dulu hanya kudengar dari pak kiai

Bunda, sudah 20 lebaran aku tak juga menghantar kekasih dan cucu untuk kau timang
kerinduan ini malah mengantarku pulang ke rumah abadi yang kujenguk setiap hari-hariku
menyerahkan doa-doa bagi kebahagiaanmu, bunda, juga semua kerabat tercinta
biarlah aku menapaki jalan dimana debu-debunya menyegarkan napasku dan dinginnya
menyelimuti tubuhku dalam kehangatan yang meluruhkan

Bunda, sudah 20 lebaran aku tak mencium surga di telapak kakimu

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

pasar minggu, medio agustus 2009

Sebuah Sajak Buat Acep Zamzam Noor

by Ang Jasman on Wednesday, August 24, 2011 at 7:45am ·
 
PUN HAMPA MERONTA DI RUANG INI

buat : Acep Zamzam Noor

di kamar 3X3 meter ini hampa makin meronta
dengar saja bunyi bertalu di tiap dindingnya
terasa segala terserak dalam sepi yang menggulung
tarian asap rokok lalu melaju dalam hembusan was-was
suwung cuma di hati tersisih.

ruang ini melipat segala damba akanan
tinggal tik-tak detik menari di segenap rumah
di meja makan tak bertaplak waktu meninggalkan cerita
ribuan laron beriringan mencari-cari sayap yang hilang
jawab tak juga mendatang.

hari seperti spiral memutar-mutar pagi dan petang
dalam irama yang ditabuh sendiri
dedaunan menguning lalu melepas reranting
di hamparan tanah basah menjadi permadani sulung
memberi susu pada waktu.

tak perlu mengeluh atau mengutuk lelaku
segala langkah adalah buah laluan
seperti laron dan ngengat tak henti mengikis liku
merenda zaman adalah gema yang bertalu
dalam hampa menyembilu.


8/2011

Tak Kudengar Suaramu Disi

by Ang Jasman on Wednesday, August 3, 2011 at 1:03pm ·


Tak kudengar suaramu disini, di celah hijau
dedaunan bukit ini. Pepohonan menangguk desir
menyeret sepi menikam sepi
Tak kudengar suaramu mengambang di udara
seperti doa-doa yang dilambungkan dengan tulus. Sedang
lentik jemarimu tak henti gemulai menari di tuts piano
ah, kebisuanmu masih juga mengaduk-aduk kelam
makin kelam. Tertegun daun menatap senyap sunyi


dan pagi ketika mentari menyibak terang
satu-satu airmatamu menghitung awan


Suatu kali kau berbisik pada hari, perlahan,
“takkan kuhentikan segalanya, biarlah punggung ini
bungkuk memikul nganga luka meski mataku
nanar dan buram, toh penghujung ada disana.”
Kau pun meniti hari seperti menghitung kancing
tahu segala sesuatu berputar tak sudah
mentari pun dengan setia melata hari,
hujan dan musim bergantian.


tak kudengar lagi suaramu disini
tapi bisingmu terus berdetak-detik lembut di hati.


pada pagi baru terang tak menguntit awan
satu-satu airmatamu bening mengristal
berjatuhan menggelinding.  Jauh.  




8/2011

Lilin-Lilin Kecil Itu Masihkah Menyala Di Ruangtamu ?

by Ang Jasman on Tuesday, August 2, 2011 at 8:12pm ·


ah, kekasih, jika kau lihat aku di petang cerah ini kau akan tertawa geli seperti dulu
aku memakai kemeja warna kesayanganmu, celana bluejean dan sepatu hak tinggi berujung lancip
"seperti cowboy", ucapmu geli dan sebaris gigi tersenyum teramat manis.
dengan kosong di tangan tak kubawakan oleh-oleh martabak telur kesukaanmu
(si abang tak berjualan lagi di sana, kena gusur satpol p.p.)

ah kekasih, aku cuma membawa tanya yang diam-diam kutanam di dasar kenangan
"masihkah lilin-lilin kecil menyala di ruang tamu?"
ternyata sepuluh tahun waktu tak membeku seperti kukira selama ini
rongga dadaku tetap saja berdegup kencang tak berubah
menguntit gairah hari-hari yang panjang tak berkesudahan
ya, sepuluh tahun sudah kaki ini melangkahi bumi sampai aku tiba kembali di petang cerah ini
di sini.

kekasih, aku akan buat surprise, jangan kaget,
perlahan kan kubuka pintu pagar besi berat ini
jemariku yang kasar kan mengetuk pintu jati berukir jepara ini dengan mengalirkan kerinduanku bersama hatiku yang berkata,
"semoga masih ada lilin-lilin kecil itu di ruang tamu" dan kubayangkan kita berdekapan dengan hari depan sambil tersenyum pada nyalanya.

oi, lilin-lilin kecil itu masih ada di ruang tamu dengan nyalanya yang menari-nari kecil, hatiku pun menari-nari,
namun apa makna sunyi sepi ini, segala beku ini, segala hilang ini?
dimanakah kau, kekasih, dimana?

tiba-tiba kudengar teriakan kecil dengan suara lucu itu,
aku pun tersentak terpaku dengan jiwa lepas melayang,
"siapakah bidadari kecil dengan lilin-lilin kecil di ruang tamu ini?

"tunggu sayang jangan ditiup",
ah, merdu suaramu masih seperti dulu melemparkan jiwaku ke langit ketujuh

"orang yang kita tunggu belum datang, sayangku," ucapmu lagi
dan bidadari itu pun terpaku berdiri menatap api kecil yang menari-nari kecil di atas lilin-lilin kecil
jemariku beku di daun pintumu, kekasih, akan kah aku masuk?
siapakah kau, kekasih?
siapakah bidadari kecil itu?

belum lagi tubuh ini membalik, kau muncul di ambang dengan wajah menyemburatkan sejuta tanya
aku pun seperti engkau, kekasih, cuma bisa diam kelu, terpaku

"siapakah bidadari kecil itu?" tanyaku dengan suara gemetaran
kau tak segera menjawab kekasih
dan senyummu yang lembut itu mencabik kegamanganku
"anakmu mas," ucapmu ringan sambil menuntun aku masuk
memelukku dan memberiku satu kecupan yang rindu kucumbu selama ini
"mas, sepuluh tahun sudah lilin-lilin kecil ini menyala di ruang tamu ini
menunggumu."

aku kelu, kekasih, aku kelu.

ah ternyata waktu memang tak membeku seperti kukira selama ini, dan kau kekasih
dengan setia menyirami benih kelaknatanku yang kutinggal tanpa belas
maafkan aku, kekasih, maafkan.

lilin-lilin kecil ini masih menyala di ruang tamu
tiga lilin kecil yang menarikan api-api kecil penuh bahagia.

--------------------------------------…

pasar minggu, 13 mei

Selasa, 21 Februari 2012

Angin Masih Bertiup Disini

by Ang Jasman on Tuesday, August 2, 2011 at 1:13pm ·


kepada : Nancy

angin masih bertiup disini, memupus  lagi jejak
wajahmu di taplak meja makan bundar ini
sebelum tanya sempat mengetuk-ngetuk ruang
 semilir angin di jendela menyergap tanpa risi.


ya tak ada lagi jejak tersisa di tubir hari, terkikis mentari
dalam terik memupus semua galau risau

“Tapi hari ini adalah buah masa lalu,” tukasmu lirih
“tak mungkin kukikis dari nubari.”
angin terus bertiup di ruang hatimu tak juga henti
hari-hari datang hari-hari pergi, kau terbantun sepi.


kau kini gigih berpacu melawan kenang
bersidahulu menuju senja masih panjang
angin masih juga mengibas gorden jendela, dan berayun
lembut di pucuk-pucuk taplak meja dalam sepi mengiris
“Tak bisa aku berdiri terus disini,” bisikmu pada sunyi
“kutaruh sudah hariku di seberang sana. Biarlah
bersendiri aku dengan pulau dan hatiku. Menantikan
senja penghabisan menunggang mentari paling jingga.”


 angin masih bertiup disini melukis senyum di wajahmu
di dindingnya hari-hari datang dan pergi tanpa maumu
kau tak lagi sendiri
kau sibak sepi.


Palingkan Wajahmu Kekasih

by Ang Jasman on Thursday, July 28, 2011 at 10:11pm ·



palingkan wajahmu kekasih, sesaat saja
biarlah kubawa dalam luka yang menganga kian lebar ini
tak usah senyummu itu jika kau memang tak mau
lupakah kau, kekasih, akan segulung kisah yang telah kita tapaki bersama
tapi kau memang selalu saja merasa sendiri dengan langkah-langkah kecilmu.


palingkan wajahmu kekasih, sebentar saja
lihatlah ke langit utara burung-burung camar pulang ke sarang
bawa cerita sepanjang hari tentang laut pada anak-anaknya
enggankah engkau membawa hatimu kepadaku, kekasih?


palingkan wajahmu kekasih, tataplah sejenak
bukankah pada mata inilah kau selalu berkaca dengan rindu-rindumu
seperti ceritamu dulu sewaktu purnama empatbelas menggantung
berselendang awan bersanggul bintang gemintang.


palingkan wajahmu kekasih, sebelum kisah ini berakhir
sementara engkau berjalan sendiri menelusuri hari-hari
sedang aku tergolek di sini dalam senyap sepi pelukan pertiwi.


palingkan wajahmu, kekasih, aku memintamu buat terakhir kali
sebelum nisan ini kering menerbangkan debu-debu.

 ah, kekasih, tak juga kau palingkan wajahmu padaku.

Lelaki Dengan Hati Yang Basah

Sajak Bagi Almarhumah Isteriku Yang Berpulang 18 Februari 2008

LELAKI DENGAN HATI YANG BASAH


Akulah lelaki dengan hati tersempal. Memunguti awan dalam kembara
panjang sedang dedaunan asyik menari-nari dalam usapan angin.
Aku kini bukan sesiapa setelah pergimu yang menyelinap. Terlalu jauh
bayangan yang bisa kujangka atas langkahmu. Tapi kau pergi juga
padahal subuh belum menyapa dan gelap memeluk erat. Ah, aku
sendiri kini dengan hati yang basah.




Bertahun waktu merenda tawa riang seperti tak sudah,  kita pun berbagi 
peluk sewaktu nestapa melanda seperti musim panas yang kering.
Dalam himpit nafas sementara atap meneteskan bocor tanpa henti
kita tertegun kagum menatap si upik yang membawa bahagia penuh
begitu juga saat si buyung datang menyusul, aku pun jadi mesti berbagi.
Begitu dahsyat kasih yang mengaruniai deting dawai suka cita ini.
Tak ada lagi nafas tersisa kecuali buat memberi ruang pada derai tawa
sepasang malaikat kecil yang menggelitik peluh lelah kita. Dan kau pun
makin cantik setiap kali menimang mereka, aku cemburu. Aku kuatir
tak tahu dimana harus kutata hati ini di antara dua malaikat yang sudah
merebut hatimu.




Begitu bahagia kita dulu ya, kekasih. Merpati pun cemburu sewaktu menatap
kita dari ketinggian jendela. Hujan pun enggan membasihi kita dengan batuk
atau pilek yang menyiksa. Lihatlah tetangga dan kerabat yang memandang
dengan sorot bangga dan iri. Beda dengan mentari yang selalu sumringah
dengan kehangatannya.




Tapi, kita tak pernah menunduk sejenak menimang waktu. Batas itu kentara
kini dalam selisik subuh yang dingin dan dengan anggun kau tak berpaling
sejenak pun. Kau pun  tersapu hanya dalam satu tarikan napas begitu kueja
ke telinganmu nama segala nama.




Aku cuma terpana. Aku cuma ingin bertanya tapi pada siapa.




Buat pertama kali pagi itu kulihat kau menari, kasihku, bersama mentari. Sedang aku
teronggok sepi dan terbuang dengan hati yang basah.




1000 hari sudah sepi ini menghimpit, tapi hatiku tetap membingkai cantik wajahmu.




penghujung juli 2011.

Tapi Kau Tak Peduli

by Ang Jasman on Thursday, July 28, 2011 at 4:27pm ·

sore langit putih seorang bocah dengan payung warna-warni
berlari menghampir tangan kecilnya menimang hujan dalam gigil
dengan duaribu perak kusembunyikan wajah tirusku di sisimu
di bawah payung basah kuciumi sepa pelipismu dan pucat
rambutmu bikin geli mencocok lubang hidung
tapi kau tak acuh.




gang becek seperti tak bosan menyusupkan bisik. Kelam


pun menarikan kilau lampu meliuk kesana kemari
mukamu menyimpan kecut
begitu acuh pada hadirku
padahal kurentang sudah tali busur menjuju arah
mendepa segala cumbu rindu yang dulu kau pasrahkan
tapi kau tak acuh.




maaf sekali ini lagi aku tak jadi pamit. Lihat saja
lengkung alismu menahan kakiku melangkah
pelangi seperti sampur melilit di langit timur
tubuhmu enggan padahal gending sudah ditabuh
tak ada tersisa lagi selain ombak yang berdebur
menghitung karang yang diam gigih dalam sapuan biru




segala terkikis rasa nyeri
tapi kau tak peduli.






penghujung  juli 2011

Puisi-Puisi Aksi

by Ang Jasman on Tuesday, July 12, 2011 at 11:08am ·
POLITISI SENYUM
bermodal  brankas uang dan bujuk-janji bagus
pun dengan tampilan dan senyum kau bungkus
kebohongan


KORUPSI MATI
kau riuh-gempita kibarkan bendera partai
kau sembunyi-sembunyi korupsi
kami terang-terangan mati


HARGA MARTABAT
tanpa penat martabat jadi perdebatan hebat
antara pejabat bejat berebut ladang syahwat
rakyat sekarat


LAPAR BOCAH
bocah lunglai lapar memeluk dada kering
dengan butir-bulir airmata ibunda gegas
menggoreng batu


TUHAN DIMANA
berserak moyak bata-batu marmer rumah ibadah
darah mengucur, kau asyik ma’syuk  bertukar-tikam
menyembah agama


7/2011

Puisi-Puisi Nakal

by Ang Jasman on Monday, July 11, 2011 at 8:37pm ·
MUSIM SALJU DI PARIS
di seribu tikungan gigil bergemerutuk
sebelum beku aku berlari mengecup
 bibir perindu


CUMBU PILU
aku meminta dalam desak memburu
cumbu aku dalam payudaramu
kataku pilu


BERI AKU
derai-derai  langkah menyeret mentari
kau lupa menyimpan cintaku
di tali kutangmu


SEMALAM
bulan bundar mengibas tirai jendela
di tali jemuran tersampir
celana dalammu



7/2011

Bisikku Pada Rumi, Guruku, Kekasihku

by Ang Jasman on Wednesday, July 6, 2011 at 10:37pm ·
koyak-moyak langit mengenali tembang merdu  sang rupawan
senyumnya membungkus matahari  menjadi sejuk gerhana rembulan
mengemas dingin kelam jadi jalan pengantin bulan madu
dalam peluknya segala rela berserah, mawar pun lupa pada duri


usahlah merindu waktu sedang semua melingkar tanpa ujung pangkal
di kedai anggur segala peluh keluh mengucurkan cerita para buhun
Rumi, katakan, kemabukan ini tak menunggu subuh buat bercumbu
setiap palang titian telah bertukar sayap-sayap berkepakan
semua rintih telah berganti nyanyian kemenangan para penjarah


perjalanan mengubah kesendirian jadi lagu genderang perang
bebungaan merunduk, biji-biji berlompatan meninggalkan cangkang
sang rupawan, dalam anggun putera mahkota, turun dalam rupa merpati
membawa kehangatan pada hari pada hati yang tak terganti.


7/2011

Dan Lampu Jalanan Berebut Cerita

by Ang Jasman on Monday, July 4, 2011 at 5:51pm ·
angin menggulung cerita tua yang belum lagi usai diperankan
tak ingin lakon berlanjut di antara rumpun mawar kecuali durinya
debar yang memesona hari-hari kini rebah sudah oleh goresnya
ditulisnya lagi kisah baru mengulang desah yang menghimpit


di antara rak-rak buku di Gramedia
di siang tanpa musim tanpa nama
telah menjadi mata air kisah-kisah cuma sejenak
belum lagi lepas hasrat menyemburat ke kelepasan waktu


tak lagi ada hari-hari direnda di sela lentik jarinya
mimpi dan peluh menyelinap di sulur-sulur rindunya
buih pun dihisap kembali ke samudera lepas, seperti ujar Chairil
“peluk kucup perempuan
 tinggalkan kalau merayu”


usah tercenung di tepi hari
mentari kan menyelinap ke dalam sunyi
tinggalkan saja lampu-lampu jalanan berebut cerita
tak ada lagi bata-bata tersusun menjadi rumah dambaan



awal juli 2011

Puisi-Puisi Alit

by Ang Jasman on Wednesday, June 29, 2011 at 3:35pm ·


NAK DARA

anak dara melenggang gemulai
ah, binar matanya
aku pun sansai


AKHIRNYA

kau datang dalam sepoi angin
berdesiran damba yang kutitip
entah kapan


JARI PENARI

jemarimu menarikan mentari
menghitung getar-getar hati
saling kah kita?


DI SINI

langkah pun terhenti membeku di sini
segala sunyi segala sepi di dalam aku
sendiri



penghujung Juni 2011

Bunda, Sisakan Cahaya Hatimu

by Ang Jasman on Tuesday, June 28, 2011 at 9:04pm ·
setelah kaki-kaki ini perkasa dan kau lepas aku melanglang
kucecer-cecer hatimu, bunda, di sepanjang jalan setapak dan arah tak tentu

tak kusisakan bahkan senyummu yang teduh sembunyi di bibir pelangi

kulongok setiap hati perempuan tapi kau tak juga ada di sana, bunda
sepi bertalu di sekujur tubuh ini dalam ayun waktu yang berlari.

hatimu yang dulu diam-diam kutitipkan pada gadis rupawan
telah dikembalikan padamu dengan takzim seorang menantu.

kini, senyap sudah hatimu
pun lenyap pula hatinya
kalian bersepakat merampas kehangatan dan menyisakan neraka sepi ini.

aku terbuang kini seperti saat meninggalkan garbamu, bunda
terkapar dalam borok dan debu selayak Ayub tanpa anak tanpa isteri
bahkan tanpa tangis tanpa airmata dan gatal pun tak terasa lagi
kecuali debu yang mengubahku menjadi daki.

sisakan saja cahaya hatimu, bunda, pantulannya sekalipun
1000 matahari berpaling dan berubah kecut di cerlang sinarmu.


penghujung juni 2011.

Ketika Aku Adalah

by Ang Jasman on Monday, June 27, 2011 at 2:04pm ·


ketika aku adalah rumput dibakar tahun-tahun tak bertarikh
kering kerontang rindu membatu di pinggang bukit-bukit

kukecupi harum nafasmu dengan gairah sejuta birahi
dalam sunyi panjang lolong serigala di wajah purnama
lagi-lagi kita saling berpaling menyendiri, terbuang

dingin rindu menyatu
kepak kelu membeku

ketika aku adalah reranting patah merindu hijau dedaunan
terbang satu-satu meninggalkan liuk angin kering selatan

tak kubiarkan darah menetes di payudaramu, samudera
gelombang tak menari dalam kepak burung-burung camar
segala diam segala senyap di relung batu karang

dalam palungnya aku direnggut bimaruci
dalam janjinya aku menapaki sunyi mati

ketika aku adalah bukit bebatuan mendamba pelukan awan
tak setetes hujan meluangkan haus yang mencabik bisik

jangan pasrahkan molek tubuhmu pada ombak pada pasir
malam bakal panjang menelusuri jejak liku di tiap dengusnya
sedang kau dan aku galau terhuyung dihisap lorong jauh
sebelum jarak menyeru batu-batu membeku waktu

6/2011

Seringkali

by Ang Jasman on Thursday, June 16, 2011 at 11:25am ·
Seringkali ingin kusembunyikan langkah-langkahku dalam sinar mentari dan angin yang mengembara di pucuk-pucuk hari berjuta jejak diam-diam menghuni hati para nini, devi dan prameswari sejak tercipta saat kiwari di sulur-sulur hari.

Seringkali ingin kutelan kata-kataku dicerna batuan waktu seumpama jelaga mewarnai wajah telaga yang tenang tak terusik gerusan air yang merangkak menelusuri pinggang-pinggang bukit dan terus menjauh ke hamparan samudera lepas.

Seringkali ingin kuhentikan detak nadi ini agar mengendap di dasar perih kehidupan tak mengusik sunyi hari yang lepas sedang jemari gemetaran menahan genggam dan binar embun pagi meniti awan bersama hangat peluk mentari.

Seringkali ingin kuberdiam dalam kelu cekalan dosa dan nista hingga senja mengendap pasrah pada kelam beristirah di atas tilam pengap di dera waktu sampai mentari muncul kembali dengan kehangatan asali dan memperbaharui segala hati yang lama mati.

Seringkali ingin kupendam saja berjuta ingin dan menyingkirkan diri di kediaman abadi dimana segala nyanyi dan sunyi menggulung waktu dalam kesudahan yang beku.


6/2011

Dia Datang, Kemana Muka Ini Kusembunyikan

by Ang Jasman on Tuesday, June 14, 2011 at 5:04pm ·
: saat ini dan esok mestinya aku siap
seperti gadis-gadis pembawa kendil pelita
penuh suka gembira menyambut datangmu

mampukan aku mengangkat muka memandang suci parasmu
sedang luka yang kubuat sendiri tak henti mengucurkan darah
aku parah
aku pasrah

tak guna maaf dan ampun lagi
selamanya aku bernafas dalam selubung dosa
yang kurenda sendiri

bapa, biarlah kukenakan saja tahi lembu ini
tenang tenteram jiwaku melata tersungkur di sini
aku debu
aku abu

Sajak Seorang Penyair Yang Jatuh Cinta Pada Shinta

by Ang Jasman on Monday, May 2, 2011 at 12:58pm ·
Sajak kenangan pada Shinta, yang tertancap anggun di antara jajaran wayang kulit di anjungan Lembaga Sangga Buana, Surakarta, pada Bandung Wayang Festival, 2011, di Kampus Institut Teknologi Nasional, pada siapa aku jatuh hati :



SAJAK SEORANG PENYAIR YANG JATUH CINTA PADA SHINTA

O mesti kau tahu kini
ragaku menembusi ruang
sukmaku menyusu waktu.

Bimasena yang dulu kukenal dalam komik-komik hidup kini di tangan Ki Enthus Susmono
epos kepasrahan dan semangat mencari air prawitasari
Hanoman yang mengisi khayal seorang bocah hidup kini di tangan Ki Purbo Asmoro
sosok ksatria sakti yang setia pada pengabdiannya
Shinta yang lekat di hati sejak RA Kosasih hingga Sindhunata bertemu kini di kampus Itenas
diam anggun menunggu pasrah tangan kekasih
dalam tatapanku aku tahu
sejak berabad kau menunggu uluran tanganku.

Ah, Shinta, rupanya karma sang penetap hidup  belum berpihak pada kita
kita mesti berserah pada waktu bersabar menunggu
atau kujelang saja kau Shinta

ya, ya, kujelang saja engkau Shinta
saat ini juga kuterbangkan ragaku ke Surakarta
dimana engkau ditahtakan di antara wayang-wayang
atau ditumpuk saja di dalam peti yang senyap dan dingin.

Tapi aku bimbang, Shinta, aku bimbang

aku bimbang
(bukan bimbang Sri Rama pada kesucianmu)

aku kuatir Shinta yang akan kutemui di Manahan bukanlah engkau
bukan engkau
bukan engkau
Shinta.

Ah, mestikah aku menyeret-nyeret damba pada Shinta
menguak  abad demi abad bawa serta
ragaku menembusi ruang
sukmaku menyusu waktu.

5/2011

Katanya

by Ang Jasman on Tuesday, April 26, 2011 at 7:41am ·
katanya ruang politik bangsa carut-marut oleh ketidak-percayaan rakyat
katanya presiden bohong
katanya elit DPR menipu rakyatnya terkait pembangunan gedung
katanya para administratur bank memperdaya nasabah sendiri
katanya pejabat publik (pengurus PSSI) melakukan pembohongan publik
katanya para jaksa menghadirkan sakdi palsu
katanya para hakim merekayasa keputusan hukum
katanya itu wajah para pengurus di republik para bedebah
benarkah? benarkah?? benarkah???
kami ingin para yang dikatanya itu memberi kebenaran dengan pembuktian terbalik
kami ingin mengecap kembali ketenteraman hidup kami di tanah ini
kami, rakyat yang memberi kepercayaan dan kuasa menarik mandat

Kepada Penariku

by Ang Jasman on Wednesday, February 16, 2011 at 8:34pm ·


Penariku, puisi adalah
ayu sorot matamu.

Kata-kata pun tertatih menelusuri tatap membisukan
gemuruh degup berguguran di relung-relung jauh
sedang nafas terpasung beku.

Penariku puisi adalah
gemulai liuk tubuhmu.

Nada-nada menghambur cemburu pada lekuk-liku sintalmu
irama kehilangan makna mengambang diam dalam beku
dan detak cuma mampu mengungkapkan pilu.

Penariku puisi adalah
lentik jemarimu.

Ketika diam merengkuh berjuta makna memburumu
engkau pun hilang dalam alun puisi yang syahdu
dalam dekap rindu batu paling buhun.

Penariku, abaikan saja sejuta puisi dan tari
bertumpu waktu
sebelum mentari mencumbu segala berlalu.

Mari, Penariku, bekukan semua tetabuhan ragu para perindu
dekap saja aku dalam gerak abadimu hingga luruh.



Feb, 2011.