Senin, 31 Desember 2012

BERANDA INI


/ang jasman

beranda ini lupa akan waktu bergulir di gigirnya
tak sempat mencatat peristiwa di penanggalan lusuh
yang menjadikan lupa pada perjalanannya sendiri
tinggal kusam yang direkam dinding lembab
kelupas cat di sana-sini menandai sepi mengiris.

beranda ini tak lagi berbagi tawa dan celoteh
suara-suara riuh yang mentertawakan beban hidup
dan pertemuan antara hati
atau menjadi sekedar tempat berbagi.

beranda ini sudah lama dilupakan bebungaan
yang kini lebih suka bergerombol di halaman tak terurus
warna-warninya tetap senyum di antara belukar
di desir angin mereka mengangguk-angguk.

beranda kini bersahabat dengan laba-laba yang setia
memasang jaring-jaring waktu di tiap sudutnya
bergurau dengan kupu-kupu dan laron yang mampir
dan berkencan dengan sebuah lampu yang tak pernah padam.



12/2012

2013


/ang jasman


tersibak desir angin berkejaran di ruang kerja
berkecipak riang seperti sayap-sayap kenari
ada pinta dan mimpi tersemat di tiap angka.
perlahan-lahan foto-foto kehilangan warna
dari lembar yang tergulung
balik ke pantai, gunung dan persawahan
angka-angka bersicepat saling menyusul, menyisakan
reranting berayun-ayun lesu
terasa angin seperti enggan menyisir.

segala harap perlahan tertunduk depan tembok
telah hilang bulan, hari dan tanggal, semua
kembali putih
pucat
pasi.

ah, betapa makin asyik seribu langkah nanti
dalam sepi terbuang dan sendiri
dicumbu kunang dan kerlip api.


12/2012

Jumat, 21 Desember 2012

SAJAK BURUNG KENARI

/ang jasman


Tulis untukku sebuah sajak cepatlah
Pinta seekor kenari terluka di telapak tanganku
Darah di dadanya dan kaki yang patah
Kau tak akan sempat membacanya
Jangan risaukan itu tulis saja
Katakan kepada pengurungku dan pemburuku
Aku maafkan mereka meski harus mengulang
Hidup lagi sebagai kenari
Rinduku menjadi manusia kian jauh dan panjang
Entah berapa waktu lagi perjalanan ke sana
Aku tertegun, seorang bocah berseragam liwat di sisiku
Kakinya bersijingkat sambil menyanyikan lagu sekolah
Kenari itu tak sempat mendengar suara riang itu
Dia telah kehilangan siul merdunya
Sehelai bulunya terlepas diterbangkan angin
Pengganti doa yang tak bisa diterbangkan sayapnya
Terik mentari di langit Lembang dedaunan luruh
Seperti rahmat yang menjemput
Sedang sajak belum satu kata sempat kugores.


12/2012

AWAN, KUPU DAN BUNGA-BUNGA

/ang jasman

 
Diam-diam aku berubah menjadi awan, bagai kapas putih
Melayang di ketinggian pohon dan bukit-bukit.

~ Kupu-kupu pinjami ku sayap-sayapmu sesekali
Aku ingin bebas mengapung tanpa angin.

~ Kau asyik di atas sana mengawasi kami semua
Aku cuma punya sayap kecil buat menyapa
Bebungaan dari tangkai ke tangkai.

~ Ah, mesranya. Aku cemburu padamu, kupu.
Tiap pagi bunga-bunga itu senyum padaku tapi
Aku tak dapat turun mencium mereka.

~ Tunggu saja kawanan awan berkumpul di atas ini
Saat itu kau akan menjadi hujan dan airmu akan mengelus
Helai indah bunga-bunga itu. dan memberi minum akar-akarnya.

Hatiku menggelembung girang tak sabar menanti kawanan
Kataku pada mereka, “Bila guntur datang kita menjadi hujan
Menyusup di tanah merah lereng-lereng dan sulur-sulur sayuran
Ingat, jangan bikin banjir dan genangi sawah paman tani.
Dan tunggu aku menemui sahabatku .

Aku pun menitip cium di helai pipi yang saban pagi
Mengirim senyum ke langit Lembang.”
12/2012

Rabu, 19 Desember 2012

KAN KUTULIS HARI-HARIKU

/ang jasman


Hingga tubuh meranggas dan kering
Lembar-lembar kosong itu tetap menganga lapar.
Lagi kutulis catatan yang tak juga sudah
Jemari pun renta lemas dan terkapar.

Entah berapa buku telah kutulis
Entah berapa lagi harus kutulis.
Baiklah, berikan buku-buku yang kau sediakan
Kunyalakan bara api di jemari, di tangan, di sekujur tubuh
Kujadikan tinta segala darah, lelah dan airmata ini
Hingga kau puas
Meraih tanganku masuk rumahmu
Di akhir senyum kausodorkan air penebus.





12/2012

Selasa, 18 Desember 2012

DOA SELAGI HUJAN

/ang jasman


dingin melemparku ke dalam kepompong tubuh
pada hitungan yang khilaf tak ditemukan apa-apa.
gelitikmu membuat perut selalu minta diisi dan
geraham nan tak henti berayun
lupa jika di hidup ada damba yang menunggu.

pelukmu menghentikan tubuh di pojok ruang
senyap serupa elang terbuang bersendiri
di langit sunyi
di bukit-bukit hening lalu
mematri segala harap ke magma bumi,
doa-doa pun berloncatan dari benak
berhamburandari hati.

tuhan, tanganmukah mendekap ini
ke dadamu yang gerowong kehangatan.
sinar mentarimu jadikanlah suluh di jempol kaki
dari ribuan angkatan terimalah damba paling api ini.

12/2012

SAJAK II

/ ang jasman


sejak entah
aku berserah pada kata
jemari telah lama bercumbu
berpilin, berakar dan berranting-ranting
kubuihkan kata-kata di kedalaman hati.

sejak kini
kata-kataku digiring angin

berkait lepas di hatimu.
12/2012

LEMBANG NAN JELITA

/ ang jasman


hujan nan permai
di hati paman tani
kebun rindu pacul yang dinanti
di jemari-jemari lentik
bibit ditanam selebar kaki

awan digigir Lembang seranum gula
meleleh di bibir ipis gadis jelita


gadis melenggang di pematang
bikin akang tak tahan memandang
12/2012

Jumat, 14 Desember 2012

MENDUNG KINI


/ang jasman

Mendung kini
Tak ada lagi kepak di langit Lembang
Burung-burung bercericit di dahan dan reranting
Berdoa dan bernyanyi sebagai syukur kepadamu
Di hujan dan terik makanan tersedia juga kegembiraan.

Gerimis kini
Sebentar lagi guntur menghantar hujan
dengan gemuruhnya yang merdu dan bertalu
Di hati kami engkau pun turut bernyanyi



12/2012

Kamis, 13 Desember 2012

DI SEBUAH SORE

/ang jasman

Sore itu

bibirmu terpateri di bibir cangkir ketika meninggalkan café
mataku menatap noda merah disana
telingaku tertegun pada detak sepatumu
sesaat hening
sepi mengetuk hati
lirih dan mengiris.

Lampu-lampu makin terang hingar pun makin jadi
sepasang cicak berbincang tentang musim, buku-buku dan kampung halaman
orang-orang tak peduli terus asyik berbincang dan menyeruput kopi
seketika warna-warna menjadi pekat seperti sisa bibirmu yang merah itu
petang makin turun tak peduli pada waktu
aku sendiri dengan perasaan ngungun
di luar salju menari-nari di nyala lampu.

12/2012

Selasa, 11 Desember 2012

MALAM PERJANJIAN

/ang jasman



Petang ini kita berjanji bertemu di sebuah café
suaramu seperti guntur menghantar hujan, mengingatkan aku
seolah esok bumi ini rata menyisakan cinta kita tumbuh
di celah bebatuan dan musim yang ramah.

Rindu kita berkelindan tanpa kita mengerti,
aku mau ketemu kau seperti kamu ingin jumpa aku.

Detik-detik paling emas adalah pertemuan dua kekasih,
aku akan berbagi waktu seperti kamu menyediakan waktu.

Kau pasti akan menungguku bila aku datang terlambat seperti aku
sungguh akan menantimu jika tak tiba pada waktunya.

Damba saling bertalu mengisi penuh ruang-ruang.
Waktu bergulir cepat sebelum rindu terbasuh.

Jangan terkejut di pertemuan paling damba nanti.
Rindu yang kau usung akan kubayar tunai.
Kan kucium tipis bibirmu tapi bukan gincu merah itu.
Kan kuelus lembut kulitmu tapi bukan lotion pelembut.
Kan kuusap ikal rambutmu tapi bukan hair spray dan pewarna.
Kan kupeluk tubuhmu tapi bukan gaun kesayanganmu.

Malam makin menggetarkan bagi dua kekasih.
Kita tak berselimut kepalsuan, katamu.
Kita tak bersarung kedustaan, kataku.

Dengan bugil kemurnian tubuh kita mandi cahaya bulan.
Malam jadi hening sekalian seribu cengkerik, kodok dan
burung hantu melagukan serenada agung.

Lihat, sepasang kekasih bercinta di awan-awan.
Tubuh mereka merupa emas dipelukan rembulan.
Menari di celah bintang gemintang.



12/2012

HATIKU PUISI

/ang jasman

Amboi, hatiku beku menggumpal merupa puisi
meneteskan lelehan waktu dan terus mengalir
meliuk-liuk dibawa arus kali tanpa henti
menembang kinanti dan asmaranda di bibir gadis menanti.

Amboi, hatiku menjadi puisi kini

di jarum waktu menarikan tarian darwisi
serupa Jalalu’ddin Rumi, Hamzah Fansuri dan Acep Zamzam Noor.
Hatiku lengking nyanyi seruling di hutan-hutan bambu
Hatiku biduk sampan terayun riak gelombang di pesisir
Hatiku sajadah lumpur hangat mentari di pinggang bukit.
12/2012
 
.

BUAT AKUKAH?

/ang jasman

Buat akukah tatap mata itu?
sendu yang kau kirim disorot matamu menggetarkan
dinding cafe dan remang yang menyatukan kita.

Buat akukah senyum yang nyaris sempurna itu?
di sudut bibirmu segala kisah mengalir lirih, semua
tergelar di jejakmu pada hari-hari kemarau dan kering
sebelum menyadari arah yang salah.


Buat akukah diam yang terpahat di dinding-dinding?
kota tidak lagi bersahabat kecuali memberi debu
jalanan yang lebar dan padat memaksa kita berpisah.

12/2012
 
.

Senin, 10 Desember 2012

GERIMIS DI SELA KELAM

/ang jasman


rintik gerimis sore ini menari-nari riang di atap, silih berganti
kaki mereka tak lelah ditingkah tabuhan yang dibuatnya sendiri
tik tik tik.. mengetuk tiap pintu meminta rindu yang tertinggal disini.

aku diliput sepi dan terbuang dalam kenang yang terus mendesak
rintik gerimis mempercepat langkah ke tepi yang segera mendatang.

di kelam ini kita pun berpisah.

12/2012

SIMFONI KESENDIRIAN

/ang jasman

Mendung berbisik kepada siang, aku tak singgah sore nanti.

Di langit Paris mentari cuma pijar cahaya tak ada kehangatan menusuk kulit
mendung dan terik, gerimis dan kering berkejaran di celah waktu
menyerahkan degup dan engah pada salju dan musim dingin lalu
langkah-langkah bergegas memburu café di pojok Rue de la Sorbonne.
...

Sambil memandang bayang-bayang menari di taman Luxemburg
jauh di depan sana saat senja perlahan menjemput remang
bangku-bangku kosong dan sunyi, salju menari di rerumputan
semua berlalu di garis mata juga angin sepoi yang mengetuk
dinding-dinding kaca yang memisahkan kenang dan rindu kita
masih kuingat sisa pias senyummu di bibir senja, presis seperti kini.

Ketika lampu-lampu jalanan berpijar satu-satu, dan kilau
menyapa bening basah matamu segalanya mengendap.
Kita cuma hidup dalam harap, bisikmu pada cangkir kopi
semua beku dalam peluk musim yang saling berkait.

Cericit burung-burung gereja di tiang-tiang kampus Sorbonne
adalah suara waktu yang menggeletar di dalam rusuk
gemanya menyusup hingga ke sisa musim nanti.

Dalam kesendirian dan dingin membawaku ke stasiun metro
menunggu tram terakhir sebelum semua kisah berakhir.


12/2012

Sabtu, 08 Desember 2012

SIAPA NAMAMU ?

/ang jasman


Bagaimana kusebut namamu? Kau hanya menangkup kepala
lalu merunduk dalam gerimis yang makin rapat. Sore pun kembali
remang seperti tetes air di helai rambutku. Cuma sosokmu tertinggal
 di petang yang menarikan hujan. Aku hanya berharap
pada merpati yang melayang di ketinggian awan esok hari
dari Place Saint Michel.  Namamu segera tertulis di sana dan gambaran
utuh wajahmu juga senyum itu.  Serupa sketsa yang kau buat dalam surat
kertas biru yang kau kirim. Tertoreh diingatanku bayangan dirimu
menari-nari di riak gelombang sungai Seine menyatu
dengan liukan bayang-bayang  gereja Notredame. Kau tak juga
menyebut namamu. Malah langkahmu baur di antara orang-orang
bergegas ke pintu metro. Tinggal aku, petang dan gerimis
tak saling sapa meski menyadari kehadiran masing-masing
dalam sunyi yang tak berbagi.


12/2012

SELAMAT JALAN, AKU

/ang jasman


ah, rindu siapa tercecer di beranda yang dicengkerama sepi
rindu dengan wajah lara terkapar dengan sayap-sayap terengah
seperti enggan dan malu pada sepi, airmatanya berkaca-kaca
tinggallah disini jika kau mau sampai pulih sayap-sayapmu, semoga
hari masih menyisakan sinar dan kehangatan mentari.


ah, sepi masih juga kau cemburui waktu yang menyelinap dalam alun lagu
takkah kau nikmati melodi yang menggosok-gosok hatimu
sedang jiwaku menari sepanjang galah waktu seperti para darwisi itu
terkurung segala sendu segala rindu di bukit-bukit hijau berbatu
di air kali melenggang semua bisik dalam arusnya.


ah, aku
kau serahkan juga dirimu pada sepi
peluk saja sayap-sayap rindu itu, terbang
serahkan beranda masa hidupmu kepada waktu.


selamat jalan, aku.


12/2012

Senin, 03 Desember 2012

PERJALANAN KERINDUAN

/ang jasman

Tertegun. Mataku kelu menatap cakrawala mencuri senja
kepak camar masih jauh dari sarang. Kesendirian
memupuk kisah tak habis di dalam benak. Seumpama
gedung tua sepi ketika kita lewat di trotoarnya.
Jemari kita berpegangan sebelum kehilangan langkah
dengan kaki melepuh terseret-seret riuh pesta
yang memisahkan. Mencari dan terus mencari suara
bisik-bisik lirih yang membujuk-rayu kerlip bintang di matamu.
Akankah kata-kata berpendaran dari gigil bibir ini menghantar
kehadiranku dalam dingin yang membuat sunyi makin mendekap
semua perih. Tetap tersimpan di sana. Dan Kau tetap duduk
sambil senyum simpul menunggu langkahku mendekat.
Sebelum subuh melabur awan jadi putih, dan mentari berbinar
ijinkan kakiku menjejak lantaimu dan menyerah.
Mataku lapar memandang wajahmu, telingaku haus
pada merdu tetabuhanmu.



12/2012

Rabu, 28 November 2012

PERHITUNGAN

/ang jasman

Ketika itu kotamu menawarkan wajahnya
langit makin putih melepas tembok-tembok pucat
kunyalakan lagi api yang kusimpan buat besok
agar kukenali rautmu dalam pias cayaku.

sepi adalah luka kedewasaan ujarmu di sela kilatan
berbagai lampu yang gegas pulang atau pergi
kukatup mataku merasakan hangat hela napasmu
segala berlalu di celah jemari kita yang makin kurus.

ini titik awal yang kita cari di antara timbunan waktu
separuh perjalanan telah menghapus umur kita. selalu
begitu riwayat mendekam dalam cair tinta biru atau hitam
sedang sehelai kertaspun enggan ditulisi.


11/2012

D O A



/ang jasman


kuluruhkan bisik doa dan harap di lekuk peluh
ada namamu tertulis di atas lontar dan senyum
menembus langkah yang makin menjauh.
kutaruh garis nasib sepanjang lembar almanak
bayang wajahmu di setiap tanggal dan abad.
hidup bukan pertaruhan melainkan penebusan
hingga langkah penghabisan semuanya terlunaskan.




11/2012

T A N Y A



/ang jasman

masih tersisa rasa bersalah seperti bercak
seperti luka bacokan di batang pohon
sambil berbisik membuat sarang lalu beranak pinak
serupa rayap berrumah di kayu meski tak niat melumat.

kaki sudah lama kuyu lesu membuat jejak di tanah alamat
sebarisan keluh getir bergantian mencabik semua urat tubuh
dan doa dan hati tersisih perlahan-lahan menjadi abu.

di tiap pagi secara tak kentara bercak berubah pias dan meluntur
tapi tubuh keburu kehilangan daging keburu jadi bubur.

tatkala senja bergulir cuma bawa cerita perih
di tiap dinding, halaman dan mata tetangga
sapa tanya terpendam dalam beban.



11/2012

RINDU YANG BASAH



/ang jasman


Siang ini pak pos lewat tanpa surat atau paket
tapi rindumu datang ketika kaki menginjak beranda
angin membawanya sebelum rintik gerimis membasahi
dedaunan, kembang kemboja dan bangku di bawah rimbunnya.



di tanganku rindumu basah.

rintik gerimiskah atau airmatamu kau sertakan juga?
gerimis putih kini berubah gumpalan hujan
rindumu mencair di nopember basah
aku termangu bisu
pada air
pada bening
pada rindu
yang menagih kalbu.


di tanganku rindumu mencair.


11/2012

BASUH AKU DI WANGI SENYUMMU

Ang Jasman

: Constance Elenore Tutuarima


Binar matamu di mimpi semalam masih lekat di kemejaku
Dan wangi senyummu. Ketika kusibak tirai jendela
Mentari lebih cemerlang dari kemarin dan angin sepoi
Meminang layar perahu berkepakan di sayap camar
“Katakan, dimana dermaga pertemuan bagi perahu-perahu kita
Sebelum angin mengendap dan lumba-lumba keburu pulang.”

Mimpi sembunyi di lipatan selimut berlari ke punggung mentari
Dahan tak lagi memberi buah sedang dedaunan sudah lama gugur
Kupungut satu demi satu harapan yang tercecer di antara kerikil
Sudah lama doa berganti dzikir yang menggigilkan bibir dan lidah
“Nafas yang kuronce saban pagi sudah di penghujung tali
Mari kita simpul ujung rangkaian ini. Kembalikan pada Empunya
Sebelum tagihan datang atau direngkuh paksa dari pusara dada kita.”

Kita pun gegas melayang ke bukit-bukit diiring seribu kupu dan merpati
Berpilin irama La Paloma yang dulu dikenalkan bunda di senja ranum
Hanya kenang kini menjadi teman sejalan dan langkah-langkah.

Binar matamu itu menikam di kemejaku ketika damba makin haus
Basuh aku di wangi senyummu.




10/2012

Selasa, 30 Oktober 2012

CERITA SEORANG LELAKI


Malam. Seorang lelaki berjalan bersama bulan
cengkerik berderik di rerumpulan basah
seribu cerita mendongeng di kepalanya.

Sepasang kakinya terantuk-antuk bebatuan
jalan lurus menanjak menuju jelaga
pepohonan hitam daunnya sudah lama lelap
 langkahnya terasa tak pernah beranjak.

Oncor di sudut pagar seperti mau berkata
rumah hanyalah persinggahan sunyi
tak ada kehangatan yang tersisa disini
“Kamar ini tak menyimpan lagi cerita tentang kita”.

Dicarinya  di antara lipatan pakaian dan lemari perabotan
di antara celah buku yang berjajar rapi
dan kertas catatan bertumpuk debu
"Di hatiku kah kau kekasihku?
Kau pernah disini bercumbu dengan waktu dan lampu
dan wangi tubuhmu masih tertinggal di ruang ini
Atau haruskah aku berkata-kata dengan doa?”
Kelam makin tenggelam tak ada lagi yang terluput
malam makin sendiri dipelukan larut
Dibiarkannya jendela memandang rembulan.


10/2012

BASUH AKU DI WANGI SENYUMMU


Binar matamu di mimpi semalam masih lekat di kemejaku
Dan wangi senyummu. Ketika kusibak tirai jendela
Mentari lebih cemerlang dari kemarin dan angin sepoi
Meminang layar perahu berkepakan di sayap camar
“Katakan, dimana dermaga pertemuan bagi perahu-perahu kita
Sebelum angin mengendap dan lumba-lumba keburu pulang.”

Mimpi sembunyi di lipatan selimut berlari ke punggung mentari
Dahan tak lagi memberi buah sedang dedaunan sudah lama gugur
Kupungut satu demi satu harapan yang tercecer di antara kerikil
Sudah lama doa berganti dzikir yang menggigilkan bibir dan lidah
“Nafas yang kuronce saban pagi sudah di penghujung tali
Mari kita simpul ujung rangkaian ini. Kembalikan pada Empunya
Sebelum tagihan datang atau direngkuh paksa dari pusara dada kita.”

Kita pun gegas melayang ke bukit-bukit diiring seribu kupu dan merpati
Berpilin irama La Paloma yang dulu dikenalkan bunda di senja ranum
Hanya kenang kini menjadi teman sejalan dan langkah-langkah.

Binar matamu itu menikam di kemejaku ketika damba makin haus
Basuh aku di wangi senyummu.


10/2012

Rabu, 29 Agustus 2012

Ahh Keringatmu Itu Bunda, Maafkan Aku / Ang Jasman

Kelam masih pekat di subuh dingin itu
langit gelap, bulan dan gemintang sembunyi
saat itu segenap tubuh dan nafasmu berpilin.
Keringatmu itu bunda, dan jerit di keheningan
menghantarkan aku menguak gua garbamu.

Erang pertamaku menjadi penyilih deritamu
kau senyum dengan sukacita penuh
padahal ketika itu aku disapih oleh semesta
seketika jiwaku terkurung dalam tubuh fana ini.

Di tangis pertamaku kau dekap aku ke dadamu
kau peluk dengan segenap keibuanmu
kau dekap dalam lindungan kasihmu
kau satukan dalam tarikan nafasmu
lalu kau sodorkan puting susumu, bunda

Aku pun mereguk air kehidupan yang pertama
kau hanya bisa lakukan itu, aku tahu
kau haru menyaksikan tubuh mungil tanpa daya
kau abaikan deritamu yang nyaris merenggut nyawamu
kau hanya ingin aku nyaman dan terlindung.

Jika saja kau tahu, bunda, aku cuma menangisi tubuh ini.
Pinjaman ini begitu fana
begitu rapuh untuk menghantar kembali jiwaku.

ah, sekiranya sukma ini tak disapih semesta
tapi keringatmu itu bunda, maafkan aku.


8/2012

Selasa, 03 Juli 2012

Cerita Tentang Kita


Setinggi itu kau bertengger di sana bertudung wajah angkuh
kau sisakan juntai kakimu buat kupandang. Sepi dan sendiri

jika itu seharusnya. Tak perlu kau turun dan duduk di sisiku
setiap waktu punya jalan dan caranya sendiri. Aku tahu

segala perhitungan adalah kesia-siaan yang mengenaskan.
Kita sama-sama terjebak dalam labirin memilukan ini.


7/2012

Selasa, 12 Juni 2012

Ketika Rindu


Di senja sayu ini kau serahkan bibirmu
Dengan kecup paling lelaki gairahku menembusi
Rindu yang memburu.

Dalam desau angin kau menunggang sembrani
Mengepak rindu dengan sayap-sayap putih awan
Berkerudung hasrat paling jalang
Bersampur birahi paling api
Di tiap lenguhmu
Di tiap gelinjangmu
Lenguh nafasmu menikam desir.


6/2012

Di Matamu


Di matamu masa lalu merupa serpih bayang
Hitam, memanjang-panjang.

Di matamu masa depan sisa harap mendatang
Gelap, melayang-layang.

Di matamu kini mata-air air-mata mayang.


6/2012

Penyair Mati


Seorang penyair telah mati di comberan
Ditelikung sajak yang dicurinya.

Sejuta pembaca geram dan merintih-rintih
kepala mereka pusing tujuh keliling
keracunan larik dan bait kotor bau bacin.

Seorang penyair telah mati tanpa malu
Mata liciknya berkata aku tak menyesal.


6/2012

Mampus


Petang diam-diam merayap menguntit larut
Senyap meringkuk di tempurung waktu
Haruskah kujemput senyum yang dulu itu
Atau biarlah sepi ini mengunyah sepi
Sampai semua mampus
Sampai semua lempus


6/2012

Senin, 11 Juni 2012

Pilihan


Gulita kali ini seperti tak mau melepas malam
Bertukar nama tak kenal siapa
Langkah-langkah saling sengkarut. Tak henti juga
suara-suara menganga minta arti.


Belum lalu gigil membakar waktu
Semilir angin memetik rindu dari jantungmu
Bisikkan reranting melepas daun-daun layu. Esok
sebelum matahari mematahkan kaki.




6/2012

Kamis, 07 Juni 2012

Cinta

Cinta seperti merpati hingga di jendela
Diam-diam menulis namanya di almanak
Lalu meninggalkan sejumput rindu yang membakar
Hari-hari panas sesejuk air es dari dalam kulkas.


Cinta merayakan detik-detik menjadi waktu
Cukup sebuah senyum di pintu dan binar mata
Melukis luka manis di kehangatan jantung
Hari-hari jadi siksa paling damba dan menawan.


Pepaya yang busuk di dahan, bukanlah cinta
Mawar melayu di tangkai, bukanlah cinta
Para pengemplang utang di warteg tak memiliki cinta.


Cinta seperti seekor merpati putih kapas
KepaKkan sepasang sayapnya mempersembahkan hati
Kepada Sang Maha Cinta.




6/2012

Rabu, 06 Juni 2012

Petang 20 Tahun Lalu


Petang masih rembang bawa kanak kembali pulang
baur derit roda kopor yang kau seret dengan geram
wajahmu semerah jingga senja tadi
suara azan magrib tak juga menahan hatimu
semua begitu cepat ketika aku sempat menoleh
20 tahun berlalu hingga di petang sejuk dan dingin ini
kau tak kembali meski petang masih rembang
seperti saat ini.


6/2012

Tentang Kita

Campakkan saja, campakkan
tak ada lagi luka, sesal atau sumpah serapah.


Meski langkah berbagi, kita punya kehidupan sendiri
kelak dipatahkan oleh umur dan jalan bercabang
tak pernah keabadian mengiringi
sayang.




6/2012


Kehilangan Itu


Hari-hari tak lagi menjadi milik bersama
bahkan di detik ini juga ketika dedaun berubah warna
kau melepaskan diri dari tangkaimu
dan aku tentu akan melupakanmu.

Telah kutitip harap di desir angin
di pucuk-pucuk bambu juga bebatuan di dasar kali
dan aku pun tak punya lagi rasa kehilangan itu.

Hari demi hari diam-diam berlari di awan-awan
mencampakkan kau dan aku terkapar
terserak di padang savana dan gurun
paling tandus.


6/2012

Jangan Penjarakan Hatimu Di Hatiku

Jangan penjarakan hatiku di hatimu, ya kekasih
usah jadikan senyum itu anggur memabukkan
biarkan binar matamu membelai lelah hari-hari.

Sejak lama kurindu kehangatan di dasar jiwamu
seperti senja pertama memateri tatap damba kita
hati kita pun luruh bersama guguran dedaun
arus kali melarikan dalam derasnya.

Lihat, hati kita menari-nari di permukaan arus
kita pun merenangi kebahagian panjang
derai tawamu memeluk dinding-dinding bukit
kita baring di atas bunga rumput menatap langit.

Jangan penjarakan hatiku di hatimu, ya kekasih
kita berbagi saja kehangatan seperlunya
seperti kuselimuti tubuhmu dengan jaketku
atau kau beri aku segelas air putih hangat.

Biarlah senyummu memulihkan pilu
lentik jemarimu menarikan rindu
binar matamu mengundang pasrah.

Jangan penjarakan hatiku di hatimu, ya kekasih.


6/2012

Rindu Seorang Penari

Rindu memilin erat hatimu
Jemarimu menari di kuntum mawar
Bagai mantra wangimu menyentuh langit hatiku
"Biarkan aku menari di bola matamu"
Lalu kau menggelayutkan rindu di leherku
Aku pun menjadi sampur di sintal pinggangmu


6/2012

Jumat, 04 Mei 2012

Senyum


Amboi, senyummu hangat mentari di bukit-bukit
mencium pohon-pohon jambu dan pucuk-pucuk cemara.
Jangan hentikan langkahmu daki terus hingga puncak
anam harapan paling kapas di naung awan-awan. Disini
senyum kan tertebar di seluruh kota bak doa-doa
di alas tarikan napas.

Di wajahmu segala simpuh berteduh.


5/2012

Mengapa


mengapa kau warnai langit dengan mendung
di hatimu? Kelam berubah makin jelaga. Malam hilang
tirai terbang, tak ada lagi tatap berbagi antara kita. Sayang
kesedihan tak punya tempat di tetes air mata.
segala lesap
segala lenyap
tinggal mimpi tertatih dan harap terkapar.

malam makin jauh
kelam makin larut
jarak antara kita tersimpan dalam peluk angin.


5/2012

Kamis, 03 Mei 2012

Kepompong Sendiri


Seperti Hawa menyebarkan tuba duka
segala jadi gamang
segala jadi usang
menyeret langkah menembus terowongan luka.

Seperti Kain menikam darah ke bumi
daun-daun pun layu
detik-detik pun kuyu
hari-hari tinggal merajut api
tidur kehilangan mimpi.

Entah kapan langkah mengubah kembara. Jauh
semakin jauh lupa akan jalan pulang. Dan doa
tak menuntun mentari tetap jaga
malah membuat bayangan makin panjang.

Awan terus berarak menguak terik. Panas
memanggang harap paling ranum. Maka
mari merenda kepompong sendiri dengan hati.
Mari menjadi Yunus mendekam di anyir perut ikan
Mari menjadi Yusuf meringkuk di kedalaman sumur.

Baca! Di dinding kepompong itulah risalah kita tercatat
segeralah dieja sebelum perjalanan penghabisan ini
atau kau cuma seonggok belulang di jalan buntu. Tak sesiapa
memberimu air prawitasari.



5/2012

Batas-batas Jejak


Tak kuingat lagi lekuk raut wajahmu
derai tawa dan senyummu beku dalam waktu
bahkan namamu sudah lepas dari lembar catatan.
Suaramukah itu yang memanggil
hingga di ujung batas? Juga tak kukenal lagi.

Jarak terasa lepas dari genggaman
waktu begitu binal buat dicekal
cermin jadi buram, semua hilang
menyisakan noktah buram.

Jejak-jejak kaki sudah terhampus bibir ombak
tak ada lagi kisah yang dulu tertulis di pasir
pantai seperti tak pernah ada. Hati kita kelu
enggan menunggu senja mengecup cakrawala.

Tinggalkan semua cerita sampai disini. Juga tawa
yang dulu berderai ditingkah gelombang.

Tak ada lagi yang mesti diperhitungkan. Kini
batas makin jelas
waktu makin batu
tak ada bekas kata di atas jejak.

5/2012