Rabu, 23 Juli 2014

DALAM NAMA ITU


Ceritakan lagi, ayo, ceritakan lagi
tentang 'sumur Yusuf'
jelaga yang anugerahmu
mengirim 1000 bulan
melarung 1000 mentari
yang dirindu langit kami
sedang tetua kami cuma aladin tiruan
disembunyikan harta di tembok-tembok bata
kepada kami diwarisikan 'lubang buaya'
luka nurani kami.

Bawa kami, ayo, bawa kami
ke sumur tua terberkati
beri waktu kepala kami meski sejenak
melongok kepompong kegelapan
cukuplah muka ini dibilas cahayanya.

Beri kami, mana, beri kami
kunyahan madu di dalam mulutmu
namanya yang 1000 bulan
namanya yang 1000 mentari

Jadikan aku, ayo, jadikan aku
sang 1000 nafas dalam nama itu.


AJ / 2014

SAJAK RINDU


rinduku bukan lapar yang bisa ditahan hingga magrib
lapar rinduku ingin berdamai dengan dinding-dindingmu.

rindu meniti hari
rindu menapak jalan
rindu renangi ombak
rindu mengapung di awan-awan
rindu menyerap di pori-pori.

rinduku lapar yang menggelepar-gelepar di alun namamu
lapar rindu yang berlabuh di pangku dan telapak tanganmu.


AJ /2014

Minggu, 13 Juli 2014

KIRIMI AKU OMBAK


padahal namamu madu di bibir
inginku kau tahu sejak dulu
ah, hujan selalu menghapus
gairah dermaga perahuku
ketika rindu melaut
purnama nanar termangu
tak ada kilau terpantul
pasir bagai emas sepuh
esok kembali luluh.

namamu butir-butir pasir di lekuk teluk
hatiku perahu menanti ombak menjemput.


AJ/2014

SERINGAI BULAN JULI


seringai bulan juli sudah memperlihatkan taringnya
ada mulut berkumur darah
ada darah melelehkan api
subuh masih beku ketika kaki-kaki lesu
berbaris menyerahkan tengkuk pada bumi

langit mengirim pelangi hitam jelaga
serupa mimpi yang dihindari hingga pagi
mata bersitatap dalam doa yang diam

hanya dalam hitungan windu istirah ini
lengan kaki cuma tulang berserah pada angin
belum pernah tawa sempat dinikmati

bangunkan kami dari mimpi buruk ini
sebelum taring itu kilau kena sinar mentari
seringai bulan juli, jauhlah dari wajah kami.

AJ / 2014

SEBUAH SAJAK DI MUKA JENDELA


kusampirkan sebuah sajak di dahan muka jendela
tak usah kau petik dan merepotkan diri mencari galah.

biarkan ranum di sana berayun desir memandangimu
pada saatnya ia akan turun sendiri dan menyapamu.

kau pun tak usah buang waktu membacanya. biarkan
sajak itu akan membuka lipatan menguraikan makna-makna.

bercerita tentang bumi dan bulan yang setia beredar
pada jalur purba seperti hidupmu seperti hidupku berpendar.

tak ada yang tercecer, terlupa atau sengaja ditutupi
ketahuilah sajak itu matang dari hatimu hatiku hati kita.

tak ada pinta, kita tinggal telanjang di sepanjang cakrawala
berpeluk wajah bumi wajah langit wajah angin yang menghela.

sajak yang kusampir di dahan hidupmu bercabang-cabang kini
berakar di langitmu di langitku menjadi hujan musim semi.

AJ / 2014

M A T A


telah jauh kita bicara kesetiaan:
sejak itu kita bercerita tentang mata
kau memandang dengan mataku
aku memandang dengan matamu?

dan mata kita tak saling menipu
cermin tak pernah menipu
hati kita tak henti menari
di cermin itu:
mata yang jendela.

bisa jadi gelombang bening ini
berpendaran dari matamu dari mataku
getar hati semesta tak henti meliuk-liuk
menari di hatimu berdendang di hatiku
membawa pesan purba dari taman itu
: titipan nenek moyang.


AJ / 2014

TANAH INI MENGINGATMU


di sini. pernah sepasang kakimu tertanam di tanah ini
kita bersisian menatap rembulan yang menggantung.

tatapanmu binar tertuju sepanjang kegelapan bening
meluncur bisikmu, di langit bulan bergerak ke barat.

itulah ego yang selalu minta menjadi pusat
kau diam dan nasibmu berlari-lari memutarimu.

pahami.  kau tak punya kendali atas pikiranmu
seperti kuda sembrani merenda bumi beribu kali.

maka jangan risaukan aku yang selalu menjangkau
kau bebas di atas alur yang kau oret sejak awal.

bukan aku. jari jemarimu memetakan jalan setapak
dan kau sendiri membuat titik di akhir kalimat.

malam makin basah bulan tergelincir di ufuk subuh
tak ada perjanjian itu kau sendirilah menunjuk tuju.


AJ / 2014

PERJALANAN KISAH


beribu kali mentari mencatat lewatmu di setapak jalan ini
kakimu tak menghitung, kau pun asyik sendiri lupa mengali
kau telah gauli awan, mendung dan desir yang membelai pipi
langkahmu serupa biji tasbih, kau eja nama-nama dengan dzikir.

di gelap malam kau menyusur berpenerang bintang di tangan
nama-nama itu makin mengental diapungkan nafasmu
tak kau pasrah-serahkan lelah-langkah pada matamu
swara yang kau damba sayup menuntunmu dengan lembut.

perjalanan ini adalah pembacaan kisah-kisahmu sendiri
telah kau tulis dengan tinta kehidupan yang silih berganti
dalam berlaksa warna dan bentuk sejak bumi berputar
dan denting yang berpendaran hingga kini tak henti.

“tak seorang kukenal selain mereka,” keluhmu pahit
matamu menangkap al-Hallaj, Jenar, Tabrizi dan Rumi
“ah, aku tak sendiri di sini,” kau senyum mengerti
tak semua kaki dipanggil menempuh setapak ini.


AJ / 2014