Minggu, 30 Maret 2014

by. Ang Jasman

Hari ke hari mentari menggandeng pagi
berbagai soal berkelebat dari benakmu
berbinaran serupa lidah-lidah api
membentur sesamamu
menghantam lingkunganmu
melumat dirimu sendiri

Seribu rumit membelit kepala, tubuh dan tumit
itu menghambur dari ego
menusuk langit dengan pedang jumawamu
sedang jiwamu rendah hati semerah kirmidzi
tertegun dengan pandang yang sederhana
tak ada kata sepatah di bibirnya

jadi, kenapa tak bisikkan lembut pada pagi
masihkah tersisa kebaikan hari ini
meski sebesar biji sesawi?
lalu kepakkan sayap jiwamu melesat ke awan
kebebasannya.

AJ 2014

Sabtu, 15 Maret 2014

by. Ang Jasman

datanglah saja, aku tunggu
sebuah undangan dialas suara lembut
tak perlu repotkan dirimu dengan bawaan segala
datang saja meski tanganmu kosong
daripada muka berbalur senyum hati melompong

kau tahu di sini kita terlempar dalam pusaran
waktu bukan milik orang bengong
dan kita terpaku di simpangan waktu di pinggiran
putaran jam dengan nongkrong sambil kongkow
meski itu lebih bagus daripada meong-meong
lalu saling merongrong
lalu saling gonggong

di kamar, ruang kerja, atau cafe yang lengang
selalu kau bisa ke dalam hatimu melongok
menderet-deret namaNya beronggok-onggok
di antara nasi goreng dan busa cappuccino
juga dalam juangmu melawan ngorok
sambil berharap mentari tak lekas di atas pondok

dengan riang dan perasaan mangkak
kau ayun sekali lagi langkahmu kian mangkrak
saat itu kau memperoleh sepasang sayap buat berkepak

dan kau berkeluh sungguh tanpa bertangguh
"diriku cuma cangkang doa-doa." kau lalu tersungkur.

2014

*menderet-deret namaNya beronggok-onggok = berdzikir
by. Ang Jasman

tak ada awan
telah menjadi gumpal hitam meneteskan gerimis
di ujung tikungan menuju perkantoran jalanan basah
kepul bubur di mangkuk, aromanya bikin tak peduli
kaki bangku basah
sepatu dan sandal basah
mobil dan motor basah
lalu lalang basah

tak ada awan
cuma kepul harum bubur ayam dan senyum abang-abang
tapi aku tak bisa senyum atau membuka bibir
di mangkuk mereka bertumpuk sewiran ayam
di mangkukku seekor bakakak seperti mengerami bubur

langit seperti aku temangu menatap
bakakak tengkurap dengan tubuh gosong dan hitam
tak kudengar celoteh dan sesekali tawa para penikmat
mereka tak peduli pada bakakak yang bercerita lirih
mataku berkaca, pandanganku jadi buram
seperti doa yang dikulum tanpa henti
waktu seolah pergi untuk cerita yang diulang-ulang
tak dibiarkannya kita menanam kepekaan

di penghujung cerita bakakak itu tumbuh bulu
perlahan, namun makin lebat dan membuat dirinya kuat
bakakak itu berkokok lalu meloncat dari tepi mangkuk

"eh, maaf, bapak lupa menaruh ayam,"
sesendok dua sewiran ayam menimbuni bubur
aku masih termangu, mataku dibawa pergi si bakakak
yang tengah dirubung anak-anak dan isteri ayam

tak ada awan
kulahap buburku perlahan.

2014

*bakakak (bs.sunda) = yang yang dipanggang secara utuh.
by. Ang Jasman

aku tidak sendiri
ada kamu di fesbuk

aku tidak sendiri
ada lengking knalpot memekik

aku tidak sendiri
ada kopi dan remah roti sisa pagi

aku tidak sendiri
ada dia di sini
meski tak kusemat dalam leontin
atau doa
cukup kubisikkan namanya
di sepanjang hariku

aku tidak sendiri
ada bayangku menemani.

2014
by. Ang Jasman

dalam asyikmu makan malam sambil bincang
masih kau geprak kecoa itu dengan dendam
dia cuma kebablasan karena perut yang lapar

dalam sepimu di beranda ditemani kopi dan donat
tanpa ampun dan tobat
kau tepuk nyamuk itu meski baru menclok

ah merdekanya mulutmu berkoar
pada penyeberang yang tengah melamun
adakah waktumu begitu berharga meski dua detik
siapa tahu lelaki itu nelangsa tak punya kerja
atau ditinggal anak istri balik ke desa

tak cukupkah
berapa ekor kambing dan ayam kau jadikan soto dan semur
buat pemuas lidah dan memperluas kuburan perutmu
sedang seekor tumbila masih kau krewes
padahal dia cuma gemas pada gembur pantatmu.

*tumbila (bs.sunda) = kutu busuk atau bangsat dalam bahasa betawi.
by. Ang Jasman

ternyata tak pernah cukup kita saling menyinta
dalam diam dan jarak selalu saja berkhianat

tak pernah cukup berbagi rembulan bahkan
mentari kau genggam-sembunyikan cayanya

untunglah jalan ini amat panjang buat kita
yang tak pernah mengenal letak dermaga

maka airmata tak lagi jadi tanda duka
dicucinya segala haru dan keluh yang menjelaga

langkah bukan berarti mendepa jarak
cuma kepasrahan mencium debu di kaki

ayo, campakkan segala perhitungan lalu
tinggal satu kekuatan yang perlu, kepala batu.

2014
by. Ang Jasman

ada kembang kenanga depan beranda termangu di wajahmu
memandang tetes peluh kakimu berkisah tentang langkah-langkah
bahkan reranting membiarkan ceritamu lepas tertiup angin
dedaun di pucuk-pucuk mengayun-ayun duka suka sendiri.

nafasmu terperangkap di ruang ini dibusukkan waktu
airmatamu menuliskan pesan di kamar-kamar makin temaram
badai membujuk ke peluk pusarannya, kau mengapai-gapai langit
cepat kau punguti remah-remah doa yang tersisa di sulur nadimu.

ada sisa waktu menyebar di dinding musim-musim
bunga-bunga tumbuh subur, kelopak layu memeluk bumi
beranda benderang lagi, percakapan dan tawa di sana-sini
sayang, bahkan tak ada bekas tapak suaramu menyapa.

kau bawa bayangmu bersama mentari
di tiap jejakmu, debu dan kerikil kau punguti
matamu menyimpan bahagiamu sendiri
kau semai namaNya di getar bibir.

2014
by. Ang Jasman

buat apa bermalam di atas jembatan
lagi tak mungkin berumah di sana

campakkan bantalmu
tinggalkan kasurmu
larilah ke tanjung
angkat segera sauh perahu

dengar rindu layar pada angin
kembangkan
arahkan kemudi menyilang gelombang
mematah badai
jangan pikir kandas atau sampai
tuju saja dermaga yang kau damba.

2014
by. Ang Jasman

dihentaknya keduabelas kuda paling jalang, kereta itu nembus
badai menggangsir angin segala musim. di puncak-puncak cuaca
kereta paling anggun berlari menapaki ayat-ayat tak terucap
rembulan jadi bola hitam kehilangan cahaya.

tak tersisa lagi, tidak, segalanya hanyut dilarung waktu
detik-detik menghitung pasir saling berbisik
cahaya tinggal nyala di telapak menjadi penerang mata dan bibir
"jangan katakan sia-sia, jangan ucapkan.." suara dari ketiadaan.

gemuruh duabelas ekor kuda mendengus membelah gulita
pantai tak berpindah tanjung kecuali arah ini berhianat
kereta berderak, paku-paku melepas, tali-tali terputus
roda-roda berputaran penuh gairah mencium karang bercuatan

asin garam melumuri ujung lidah dan angin terus menahan
tak ada lampu di dermaga dan kilau laut tampak hitam
"dengus kuda-kuda ini adalah aku, menyatu di nafasku.
adalah kendara yang menyeberangkan."

lelaki dengan duabelas nyawa kuda tak memikirkan dermaga.

2014