Selasa, 21 Januari 2014

by. Ang Jasman

aku tahu kau mengantongi aku di dalam tasmu
selembar fotoku di antara kartu kredit dan uang kertas

aku tahu kau selalu menggenggam aku di ponselmu
gambar ganteng diriku, juga rekaman gayaku di video

aku tahu kau menyelipkan rindu di sulur-sulur benakmu
tentang nama kita yang berciuman di batang pohon

tapi aku tak tahu apakah kau sungguh menaruh hatimu di hatiku
atau sekedar merayakan pertemanan dan tangan yang saling menggenggam.

2014
by. Ang Jasman

hujan makin narsis
menerpa tubuh-tubuh jadi kuyup
jalan-jalan sepi, ramai genangan
bus dan angkot yang sepi muatan
tak ada penjaja es dan tukang roti

warteg dan beranda menggigil
di antara orang yang ngopi
atau makan nasi panas sambal terasi
bibir-bibir berceloteh tentang basah

tentang hujan yang makin rajin blusukan
di kampung-kampung kumuh juga kompleks gedongan
bertamu di beranda hingga dapur dan kamar tidur

hujan menebar pesona
di gambar-gambar partai yang membusuk
di wajah-wajah caleg tak tahu malu

pencitraan hujan
melunturkan bedak di wajah para munafik
membasuh mulut-mulut bau dan nyinyir.

2014
by. Ang Jasman

Di hujanmu di banjirku rumah-rumah tenggelam satu-satu
Tubuhku menggigil, mampus kau di koyak-koyak banjir

Kini gigiku bergemerutuk
sedang dengan basah hujan enggan berbagi

Pacarku jauh di perumahan
Kalau kutenggelam, dia mati kebanjiran

Tapi apa peduliku
Aku mau banjir seribu tahun lagi

*Membaca CA tatkala basah merangkak di lantai rumah.


2014
by. Ang Jasman

pagi ini aku terjaga dan kutemukan kau baring di sisiku
kepalamu mengirim rayap membuat sarang di kedalaman otakku
kukumu memanjang dan terus menyusup ke rongga dadaku
aku meronta, aku tersedak, di luar hujan mentertawakan.

tak kulihat kau di dalam rumah meski otakku mengingat-ingat
kadang terdengar desir menyisir lantai di ruang tengah
kelepak dedaunan serupa tepukanmu yang tengah bernyanyi
aku cuma berteman secangkir kopi dan mie yang mengepul.

aku pergi, tak ada lagi yang perlu dikerjakan, hari meluncur
laptop di meja kerja menyimpan cerita tentang kita, juga foto-foto
di perkebunan akan kubeli buah-buahan dan sayuran hijau
setelah santap malam, kita bincang sejenak sebelum tidur.

dan pagi demi pagi, tiap terjaga, kau berikan senyum buat mentari
lalu jemarimu menari di denting piano dan aku menulis puisi
kita pun berseluncur di hari-hari yang makin tua dan menggumpal
sampai cacing mengurai tubuh dan langit mengapungkan kita ke awan.

2014
by. Ang Jasman

bersama semilir angin, riuh kicauku menarikan mentari
pucuk-pucuk bambu membelai-belai riang di hati
mojang Ciapus berbagai derai di bebatuan kali.

siulku menyelinap di rimbun hijau sayuran dan jemari lentik
mengusap peluh di kegembiraan panen ketimun dan sawi
mengiring langkah pulang memikul hasil panenan.

siul kicauku memang buat mereka, jangan ganggu
hijau pinggang bukit dan hutan perdu, jangan tebang
ini rumah tarianku di sela tawa manis mojang Ciapus.

2014
by. Ang Jasman

Selama kakimu mengayuh, hidupmu terus meluncur.
Jalan terkadang berkelok, menurun atau menanjak.
Perhatikan kakimu bila berhenti.
Sandarkan hidupmu ditempat yg aman dan nyaman, 

kau akan perlukan untuk melanjutkan perjalananmu.
Hidupilah hidupmu.


~ Ang Jasman 2014
by. Ang Jasman

di matamu aku merenangi matanya
di senyummu aku direngkuh senyumnya
sedang namanya menari-nari
di bibirmu
di bibirku
di sepi
di hening
hingga dia sendiri datang
dalam denting
ting
ting
ting.


2014
by. Ang Jasman

pacar, beri aku kenang
rindu yang lebih batu dari cinta ibu.

di malam hujan ini
lumat aku di kehangatan hati.

dan esok pagi
lepaskan aku membakar mentari.

2014
by. Ang Jasman

aku menunggu hujan, katamu
sedang basah masih memeluk tubuhmu
seperti nasib yang bergeming
meski kau mau larikan pedih perihmu.

hujan jadi sahabat harimu
kemarau pun mengiringmu
kau berpacu di punggung angin
menjemput titah yang tertulis di telapakmu.


~ AJ 2014
by. Ang Jasman

jika bertekad pergi kayuhlah sampanmu
tinggalkan dermaga tua dan reyot ini
jangkaulah cakrawala hidupmu sendiri
jangan ragukan angin barat yang cuma cerita
biarkan kapal karam mencium dasar samudera.

lelahmu adalah upah perjalanan, dan laut tenang
seperti bunda menina bobok bayi lanang
pandang saja wajahmu di kebiruan langit. itu
bayang biru laut yang menimangmu kini
kesendirian membuatmu mengerti arti semua ini.

sesaat lagi senja menuruni cakrawala. itu pasti
tak ada pamit atau salam selamat tinggal
giliran malam memberimu bibir buat berdzikir
nama yang telah menguatkan tanganmu
nama yang menyambut kepulanganmu.

2014
by. Ang Jasman

ada hangat airmata tumpah sore tadi
di antara kemacetan dan suara klakson

tak ada siul burung nyanyikan hatimu
kau rahasiakan sendiri rindu yang berarak

sering kau berdeham mengusir berat yang menekan
serupa angin diam-diam menerbang debu di trotoar

sesekali kucuri pias wajahmu dengan kerlingku
tapi senyummu telah lama lepas. kau beku

di silang siur kendaraan lampu jalanan mulai menyala
tak terasa senja berlalu begitu saja. tanpa sapa

ada airmata di hitam bening matamu. kau biarkan menetes
di pundakku dalam pedih rindu dan busway yang menderu.

2014

Selasa, 14 Januari 2014

by. Ang Jasman


ada warna-warna berkibaran menadah matahari
(bagus juga jadi objek lukisan)
di teras-teras menghadang semilir angin.

kaus dan baju seragam
blus dan lingerie
kolor dan blujin
(tak ada blujin biru miliku di sana)
popok dan tatakan ompol
bantal, guling dan kasur
ada juga nasi basi, gereh dan kerupuk.

harap bertukar gumam di bibir-bibir
pandangan yang berdoa, mendung menggigir sejenak
agar panas tak enggan datang.

gang ramai dengan yang mencuci sepeda motor
harum bakaran jagung tersisih bau gereh goreng
tak ada canda riuh bocah-bocah
mereka berjajar jongkok di tepi comberan
memandangi air lalu yang dibayangkan serupa
Ciliwung atau Citarum.

semut-semut tanah tak kalah semangat
menggali kedalaman sarang
setelah banjir dan genangan lewat.

aku masih merenungi blujin levi's warna biru
sejauh mana hanyut melarikan dirinya
atau besok kutemukan di lapak tukang loak.

2014
by. Ang Jasman


blu jin levi's kawe satu hanyut semalam
gigil mengalihkan perhatianku, air menghampir deras
tangan-tangan bersikejar melawan genang
banjir diam-diam mencemburui kegagahanku
blu jin yang kubeli di pasar senen ini, warna biru tua
serupa koboi dalam film western tapi aku tanpa pistol.

kukenakan lagi jin belel dengan robekan di dengkul
entah aku serupa abege atau seniman sungguhan
tapi rambut gondrong ini melukisku bak pemulung
yang bahagia menemukan kenangan di reruntuhan
bercerita pada lalat yang merubung tentang masa lalu
sampah yang bertumpuk.

telah lama rintik berhenti dan hujan pun pergi dibawa
mendung. basah masih senyum di kaki dinding-dinding
tapi aku tak bisa tersenyum. untuk blu jin biru tersayang
yang kubeli di senen dengan uang kasbon potong gaji
bulan depan. "ah, blu jinku sayang, jangan kau mampir
di tumpukan sampah dan bercerita tentang kejantananku."

2014
by. Ang Jasman


lihat aku datang kau lihat senyumku bukan
membelai sore bening sehabis hujan di dedaunan
begitu lama kepergianmu. laba-laba bersarang di sudut-sudut waktu
namamu tercecer di beranda nyaris tergerus sapu
ranting-ranting tua luruh satu-satu.

kotamu begitu asing buat melabuhkan perasaanku
kampung halaman yang lama ditinggalkan
masih tersisa kenang di kelokan, pematang dan tebing kali
musim kemarau yang segera bertiup menghantar wewangi
bau tanah dan dedaunan yang minta dipetik.

lihat aku datang menjemput ketiadaanmu
pada setumpuk rindu kusiapkan sejak ayun kaki pertama
dan terus menumpuk disemai derit roda kereta.

lihat aku datang si kembara tua tanpa tongkat
menunggu langkahmu muncul di persimpangan bukit.

lihat aku datang.

2014
by. Ang Jasman

Puisi-puisi ditulis di lorong nadi hingga ke degup jantungmu
tinta liurmu yang meretakkan dinding. Musim kerontang
memintal belulang ke dalam kata-kata yang tergelincir
sepanjang senja yang memilah-milah lembayung.

Kepompong itu sudah bertunas dan melahirkan kupu-kupu
warna-warninya serupa bait menebar rembang. Ada kepak
menjemput badai di atas kota paling muram. Lalu berserah
pada hari yang enggan mengutuhkan cerita siang.

Di penghujung kata selalu tersisa suara-suara yang berakhir
sumbang dan tercekik. Masih berapa banyak tinta dan kata
diperlukan untuk menulisi langit. Birunya terlalu sempurna
dan merata tatkala tangannya memeluk bumi.

2014
by. Ang Jasman

Aku termangu di bening matamu berteduh di lengkung alismu
Di bangir hidungmu, aku berlindung dari badai topan
Di reda hujan kupasang tangga, meniti landai pipimu.

Bibirmu serupa pelangi menyembunyi warna-warni di sudutnya
Berayun aku di belantara rimba rambutmu yang ikal.

Tidurkan aku di merdu suaramu, lenakan di mimpimu
Ijinkan aku mengenakan rindumu di tiap langkaku.

Di rintik air matamu kubasuh seluruh daki
Dengan segala tobat aku menghambur ke pelukmu.

Di damai hatimu kureguk damaiku.

2014
by. Ang Jasman
 
 
tak semua kita mendengar panggilan itu
tak semua kita melihat lambaian itu.

kau lebih suka menetap di losmen tua ini
berserah pada empuk kasurnya
berlupa pada lezat masakan dan riuh tetabuhan.

kau malah berumah di jembatan rapuh ini
beranak pinak dalam kejaran waktu
berayun-ayun asyik di atas arus kalinya.

kau memang tak percaya para tetua
rumah tak berpagar itu adalah istana damai
di mana dinding-dindingnya bernyanyi
dan lantainya menari.

2014



Note : Bait terakhir diilhami oleh Rumi : In the house of lovers/music never stops/the walls are made of songs/and the floor dances//
(Di rumah para kekasih/musik tak pernah henti/dindingnya terbuat darilagu/dan lantai pun menari//)


Rabu, 08 Januari 2014

by. Ang Jasman

hujan kedua di siang ini makin melucuti
rindu yang kusemai sepanjang musim kemarau
kapan lagi burung-burung bawa bebijian
dan tak bertanya kenapa kutanam di basah hujan
musim kabisat.

hujan kedua siang ini mecampakku ke pelukan
pamuk dan murakami yang mencabik otakku.

di hujan ketiga sore nanti tentu kau tak datang
banjir sudah mengepung hunianku
cuma tangan kita saling melambai
sebelum terkulai oleh jemu atau rasa asing.

adakah hujan keempat malam nanti
menyelimutiku dengan gigil dan sepi
entahlah
waktu bisa saja berhenti tiba-tiba
membekukan segalanya.

2014
by. Ang Jasman

siang ini mata kita tak lagi bercumbu
rintik sedari pagi menjerat kakimu
"basah bisa bikin kepalaku cenut-cenut," katamu
hatiku mengalir ke pelimbahan terus diseret
jauh bersama banjir kiriman dari Bogor.

sepasang mataku menari-nari di cermin retak
meski hujan menghantar secangkir cappuccino.

kesendirian ini kelanjutan tahun lalu
aku tak mau bertanya kapan berakhir
biarlah tahun melenggang dengan kakinya
aku punya mata kaki yang menunjukkan arah.

2014.
by. Ang Jasman

ingin kudengar kau nyanyikan "ke Cipasung aku kan kembali"
lalu kau basuh tubuhmu di kolam-kolam dimana 1000 sepat dan mujahir
menunda rindu mereka di kedalaman lumpur. 1000 katak menyanyikan gerimis
reranting yang mengangguk-angguk oleh basah dan desir matamu.

ke Cipasung kau belum lupa jalan pulang kan
di mana kata-kata menyusun syair menyambut langkah kedatanganmu
dan senyum yang semat di awan, ilalang dan angin siang yang sejuk
aku pun di sana dalam peluk rindu desamu.

ke Cipasung semoga pengembaraanmu mencium dermaga
dan 1000 sajak yang kau tumpahkan ke kolam, lumbung dan sungainya
lalu kita duduk di bawah atap malam menatap Rumi di gelapnya
kau ajarkan rahasia kata yang sembunyi di perut batu dan arus kali.

tapi terserahlah, kakimu bukan kakiku
kau memiliki hati dan mata kaki yang membawamu ke rumah rindumu
sendiri, dan damai.

2014
by. Ang Jasman

sebuah belati menghadang lagi hari ini
aku menyerah
mentari acuh kecuali pada panasnya sendiri
"maaf kan kutikam dadamu," dingin desahnya
"kemarin kau telah menyayat jantungku,"
aku berusaha menunda waktu
angin semilir lantas lalu
"tugasku menikammu sebuah belati tiap hari."
suaranya tak berbelas
kurelakan dadaku agar ia segera
menyudahi tugasnya
membasuh dosanya
seperti kemarin
mungkin esok
juga.

atau biarkan saja luka ini menganga
dan basah
"esok aku datang lagi dengan belati baru," ejeknya
aku menyumpal kupingku
aku berkubang di ceruk nanah
dan darah
berenang ke rahim bunda.

2014

Rabu, 01 Januari 2014

31.12.2013

by. Ang Jasman


angka-angka berarak
tinggalkan dinding
membiar luka
mengubah warna semerah kirmidzi
jadi susu penawar hari.

angka-angka berarak
tinggalkan dinding
mengabur langkah
menggigir segala arah angin
mengantar aku menyusu hati.

angka-angka berarak
tinggalkan aku
waktu
kelu
sedu.


2013

KEBURU LESAP

by. Ang Jasman

jelas
tak semua manusia sempat menuliskan
kata tamat di penghabisan tarikan nafas
ketiba-tibaan memburamkan angka di almanak.

mungkin
tak ada senyum terakhir atau lambaian
tangan keburu terkulai dan tubuh layu
mentari selalu sabar menunggu datangmu.

riuh
kini angin berderai-derai di pucuk-pucuk bambu
tinggalkan gundukan tanah merah dan basah
esok keluargamu bikin nisan dan menuliskan.

itu doa
di bibirmu kedap
nama itu
keburu lesap.

2013