Tak
kudengar suaramu disini, di celah hijau
dedaunan
bukit ini. Pepohonan menangguk desir
menyeret
sepi menikam sepi
Tak kudengar suaramu mengambang di udara
seperti
doa-doa yang dilambungkan dengan tulus. Sedang
lentik
jemarimu tak henti gemulai menari di tuts piano
ah,
kebisuanmu masih juga mengaduk-aduk kelam
makin
kelam. Tertegun daun menatap senyap sunyi
dan
pagi ketika mentari menyibak terang
satu-satu
airmatamu menghitung awan
Suatu
kali kau berbisik pada hari, perlahan,
“takkan
kuhentikan segalanya, biarlah punggung ini
bungkuk
memikul nganga luka meski mataku
nanar dan buram, toh penghujung ada
disana.”
Kau pun meniti hari seperti menghitung kancing
tahu
segala sesuatu berputar tak sudah
mentari pun dengan setia melata
hari,
hujan dan musim bergantian.
tak
kudengar lagi suaramu disini
tapi bisingmu terus berdetak-detik
lembut di hati.
pada
pagi baru terang tak menguntit awan
satu-satu
airmatamu bening mengristal
berjatuhan menggelinding. Jauh.
8/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar