Sunyi
masih tersisa larut ini, di kamarku, ketika profil seorang gadis
membayang di monitor dengan pose miring. Senyum seulas di bibir mungil
sembunyikan ragu . Gadis manis menyimpan rindu di mata. "Mari
bersahabat," ajaknya tanpa basa basi. "Dengan satu janji,"
kilahku pasti, "kita tak perlu jumpa di alam nyata." Gadis
dengan pose miring dan menyimpan rindu di matanya itu mengangguk setuju.
"Alam maya duniaku kini, dengan damai aku memeluk sepi,"
desisnya lirih. Wajahnya berganti kata-kata tentang cerita maha duka
yang panjang padahal listrik sudah byar-pet duabelas kali.
Kubiarkan komputer menampung samudera hatinya yang membuncah. Merekam kisah-kisah yang terus mendaki tak henti. Tak kenal larut atau subuh dan hari yang silih berganti. Tinggalkan nasi dan kopi mendingin sendiri. Aku cuma tertegun menatap bibir ipis, mata menyipit dan ragu yang mengubah wajahnya menjadi merah kata-kata.
Dari balik komputer sosok itu pun mengisi ruang. Dengan tubuh gemetar, telanjang dan muka pucat. "Sudah dua puluh lelaki meniduriku dengan janji-janji. Lelaki laknat itu pergi kini, biarkan ibuku mati". Tak ada tangis di matanya, duka itu telah menjadi darahnya sendiri mengalir di seluruh nadi-nadi. Gadis dengan nestapa di pundaknya itu menghilang sendiri. Sunyi dibawanya pergi.
Feb 2011
Kubiarkan komputer menampung samudera hatinya yang membuncah. Merekam kisah-kisah yang terus mendaki tak henti. Tak kenal larut atau subuh dan hari yang silih berganti. Tinggalkan nasi dan kopi mendingin sendiri. Aku cuma tertegun menatap bibir ipis, mata menyipit dan ragu yang mengubah wajahnya menjadi merah kata-kata.
Dari balik komputer sosok itu pun mengisi ruang. Dengan tubuh gemetar, telanjang dan muka pucat. "Sudah dua puluh lelaki meniduriku dengan janji-janji. Lelaki laknat itu pergi kini, biarkan ibuku mati". Tak ada tangis di matanya, duka itu telah menjadi darahnya sendiri mengalir di seluruh nadi-nadi. Gadis dengan nestapa di pundaknya itu menghilang sendiri. Sunyi dibawanya pergi.
Feb 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar