Minggu, 29 April 2012

Nyanyian Seorang Lelaki Bungkuk



Lihat! Seorang pejalan malam dipanggang bening subuh
bungkuk tubuhnya memikul salib kerinduan teramat panjang
sepasang kakinya yang kering dengan setia meniti jalan jelaga.
Tak peduli dingin memembekukan arah pulang
api di dadanya membakar reranting yang merintang
selalu terbetik harap di dasar ruh menguak tabir halimun.

Dikuatkannya tekadnya di penghujung sisa napas buat menyudahi langkah
sekujur tubuhnya basah kepasrahan yang tak sudah seperti ricik hujan
setia menggantikan kemarau kembali membasuh bumi.

Di penghujung sisa nafas tinggal satu
mentari dari Tabriz menyapa dengan silaunya
juga senyum lembut Jalalluddin Rumi murid terkasihnya .

Ada juga kepak anggun rajawali al-Hallaj dan Siti Jenar
berkalung darah, cinta dan kepasrahan atas nama kasih
seperti Jatayu tersungkur di birahi angkara Sang Rahwana.

Khaidir dan Rabiah al-Adawiah bawa kendi air cinta kasih
pemuas dahaga jiwani penyilih debu-debu duniawi.

Lihat! Seorang pejalanan dengan kaki kering penuh borok
tak serahkan langkahnya meski orang-orang suci itu membasuh dosa
dengan kasih mereka yang tulus.

“Biarkan tubuh busuk ini tersungkur di kakinya dimana debu
lebih lezat dari makanan para raja dunia
lebih indah dari mahkota baiduri para puteri istana.
Kan kulunaskan rinduku dalam tatapannya dibakar agung wajahnya.
Tinggalkan saja aku disini di kaki bukit dan tepian mata air ini
berselimut kabut beralas angin dingin.
Gigil tubuhku adalah tarian ruh paling gemulai.
Gemerutuk gigiku adalah tembang pujian paling merdu.
Kusilang sudah separuh bumi di angin beku dan kemarau
takkan pernah kupinjam langkah kalian.
Terik dan api mentari menyegarkan dadaku
ricik dan air bah mengurai keringatku.
Tinggalkan saja aku disini di jalan yang menjadi bagianku
berteman bulan dan bintang-bintang yang selalu setia menemaniku.”

Syahdan, para suci itu terus mengayun langkah pujian
berjubah cahaya kemuliaan Sang Penyayang
tapi hati mereka tertinggal di dada lelaki bungkuk itu.

Jalan ini memang milik sendiri yang mesti ditempuh
dengan kaki sendiri dan hati meski jarak tak tampak mata
memasuki kuping sendiri menemui Sang Dewa Ruci.


4/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar