Minggu, 30 November 2014

DAN WAKTU PUN TERDIAM


Dari tatapmu rindu menghambur ke dalam ceruk
Air matamu mengisinya dan ikan meliuk-liuk berenang
Mendung mengusap duka di wajahmu yang merambat
Menziarahi doa-doa di pelataran awan lalu meringkuk.


Kesedihan adalah awal rupa yang direnda ke segala arah
“Jangan tanya rompi atau sweeter,” jemarimu menarikan hari
Maka kugenapi rejeki hari ini dengan syukur dan senyummu
Dentang dari gereja tua mengiringi hangat kopi petang.


Gulita mengintai di halaman, menunggu depan jendela dan pintu
Ruang ini terang oleh binar matamu dan api lilin yang menari diam
Aku tertegun merasakan waktu yang diam, lonceng bandul yang diam
Aku senyum dan menebak, beginilah keabadian di surga kelak.


Manis cherri di ujung lidah mengundangku ke dunia masa lalumu
Pohon di tepi halaman itu cerita tentang angin dan musim di sini
Juga seputar dirimu yang hilang muncul di rindu kerabatmu
Mungkinkah kau lari dari pelukan nasib dan karma yang pasti.


“Selalu ada yang lain di antara kita,” kau memotong keju bau kaus kaki
Yang paling kusuka di tiap makan malam. Aku merasa waktu menunggu
Dengan cemburu. Tapi kita tak pernah tergesa saling memasang cincin
Dentang menggema lagi menawarkan mimpi di bantal-bantal kita.


AJ/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar