Selasa, 30 September 2014

SUATU SORE dan BUNDA


Sore teduh dan semilir hening nan damai selali mengirim wajah Bunda. Lembut suaranya di beranda itu terasa memelukku dengan kasihnya yang tak pernah kerontang. Bunda, kudengar lagi bisikmu :

"Angdev, pencerahan ruhani itu bisa terjadi pada dirimu ketika kau telah berada dalam situasi “DUWE RASA, ORA DUWE RASA DUWE”  ketika dirimu merasa tidak punya rasa punya."

Aku seperti hanyut dalam pemahaman yang begitu deras mengalir, di antara bebatuan terjal yang siap meremukkan tulang iga.

"Tumbuhnya perasaan serupa itu merupakan pertanda bahwa kau mulai mengawali, memasuki dan berserah pada KAREPING RAHSA. Yaitu rahsa atau rasa atau sir merupakan pancaran dari “kehendak” Tuhan (sirullah). Saat itulah sejatinya kau tengah melangkah di Jalan menuju kemanunggalan. Manunggaling kawula-Gusti.

Tanda-tanda rasa itu dapat dicermati dengan mendengarkan suara hatimu sendiri. Dengarkan. Dengarkan serupa Wrekudara masuk ke telinga Dewa Rucci."

Dan lakon itupun bergulung-gulung membahana dalam benakku. Sebuah ingatan yang memnumbuh-besarkan diriku bersam bau hutan Malabar dan wangi persawahan Desa Ciapus.

"Di dalam RAHSA itu terdapat Zat dan energi Tuhan. Untuk mendengar suara itu maka mulailah menyingkirkan 5 musuh besar dalam dirimu. Mereka itu adalah : nafsu birahi, ketamakan, kemarahan, kemelekatan, keakuan."

"Semoga kamu selalu mendengar suara itu, Angdev," Bunda menyudahi wejangannya. Aku mencium lembut tangannya yang sebening kristal.

AJ/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar