/ang jasman
Bunda, sudah 20 lebaran aku tak mencium surga di telapak kakimu
aku masih berkubang debu jalanan di kota ini mengejar makna-makna.
Sudah kugadai kertas berbingkai dan toga itu pada kebanggaan hampa.
Hari-hari cuma menyisakan lelah dan mimpi-mimpi tak sudah
tapi aku terus berkaca pada wajahmu di setiap tetes keringat.
Bunda, sudah 20 lebaran aku tak memandang teduh ayu wajahmu
aku tetap mendekap bening matamu di malam-malam gulita. Dinginnya
menggelitik tulang-tulangku. Di mushola tua tak berpintu tak berjendela
sebuah lampu tergantung termangu di ketinggian tiang di ujung gang
remangnya menarikan sepi. Aku cuma bisa menghitung napasku sendiri
orang-orang sudah lama pergi memindahkan mimpi-mimpi ke rumah-rumah batu
di sini akan berdiri apartemen mewah atas nama kekumuhan yang menahun.
Bunda, sudah 20 lebaran aku kehilangan senyum alit dan derai tawamu
tak kudengar canda sapa semua kerabat yang menyemai hari-hari awal hidupku
Mimpi ini, bunda, telah merampok mataku membutakan pandanganku
menyilaukan harap asaku pada tubir kehidupan paling jauh dalam perih
relung kagetiran. Untunglah aku dicumbu Khaidir di mushola tua ini.
Rumi dan Syams-i-Tabriz menabuh rebana dan seruling meningkahi rindu-rindu.
Dibopong dimanja Siti Jenar dan Al-Hallaj dengan kisah-kisah perjalanan.
Rabi’ah memberiku makanan abadi yang dulu kudengar dari pak kiyai.
Bunda, sudah 20 lebaran aku tak menghantar kekasih atau cucu untuk kau timang
kerinduan ini membawaku pulang ke rumah abadi yang kujenguk setiap hari-hariku.
Menyerahkan doa-doa bagi kebahagiaanmu, bunda, juga semua kerabat tercinta.
Biarlah aku menapaki jalan. Debu-debunya menyegarkan napasku dan dinginnya
menyelimuti tubuhku dalam kehangatan yang luruh.
Bunda, sudah 20 lebaran aku tak mencium surga di telapak kakimu
8/2013
Bunda, sudah 20 lebaran aku tak mencium surga di telapak kakimu
aku masih berkubang debu jalanan di kota ini mengejar makna-makna.
Sudah kugadai kertas berbingkai dan toga itu pada kebanggaan hampa.
Hari-hari cuma menyisakan lelah dan mimpi-mimpi tak sudah
tapi aku terus berkaca pada wajahmu di setiap tetes keringat.
Bunda, sudah 20 lebaran aku tak memandang teduh ayu wajahmu
aku tetap mendekap bening matamu di malam-malam gulita. Dinginnya
menggelitik tulang-tulangku. Di mushola tua tak berpintu tak berjendela
sebuah lampu tergantung termangu di ketinggian tiang di ujung gang
remangnya menarikan sepi. Aku cuma bisa menghitung napasku sendiri
orang-orang sudah lama pergi memindahkan mimpi-mimpi ke rumah-rumah batu
di sini akan berdiri apartemen mewah atas nama kekumuhan yang menahun.
Bunda, sudah 20 lebaran aku kehilangan senyum alit dan derai tawamu
tak kudengar canda sapa semua kerabat yang menyemai hari-hari awal hidupku
Mimpi ini, bunda, telah merampok mataku membutakan pandanganku
menyilaukan harap asaku pada tubir kehidupan paling jauh dalam perih
relung kagetiran. Untunglah aku dicumbu Khaidir di mushola tua ini.
Rumi dan Syams-i-Tabriz menabuh rebana dan seruling meningkahi rindu-rindu.
Dibopong dimanja Siti Jenar dan Al-Hallaj dengan kisah-kisah perjalanan.
Rabi’ah memberiku makanan abadi yang dulu kudengar dari pak kiyai.
Bunda, sudah 20 lebaran aku tak menghantar kekasih atau cucu untuk kau timang
kerinduan ini membawaku pulang ke rumah abadi yang kujenguk setiap hari-hariku.
Menyerahkan doa-doa bagi kebahagiaanmu, bunda, juga semua kerabat tercinta.
Biarlah aku menapaki jalan. Debu-debunya menyegarkan napasku dan dinginnya
menyelimuti tubuhku dalam kehangatan yang luruh.
Bunda, sudah 20 lebaran aku tak mencium surga di telapak kakimu
8/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar