by Ang Jasman
mentari baru naik ketika kutulis sepotong surat
terbayang wajahmu yang ranum senyum
dan matamu yang menyipit saat menyertai tawa.
di senyum itu aku terperoksok
kau segera menarik tanganku sebelum tersungkur.
sejak itu derai tawamu membuat hari-hariku tak susut.
tak apa kau berutang dulu, katamu membuat iri
pengunjung warteg lainnya yang lahap. tukang-tukang
dengan duit pas-pasan di dompet lusuh dan robek.
sekarang kau bisa menulis tanpa perut kosong
ujarmu, bau bawang pun goreng segera mengapung
diam-diam aku mencuri senyum dan sipit matanya
tak lagi kuinjak warteg ramah itu
aku memikirkan larik-larik yang bakal mampat
kehilangan dentam-dentum tetabuhan perut.
kata-kata cuma menembus dinding sekat
dengan perut koyak dan pikiran moyak.
atau, tak satu kata perlu ditulis.
9/2013
mentari baru naik ketika kutulis sepotong surat
terbayang wajahmu yang ranum senyum
dan matamu yang menyipit saat menyertai tawa.
di senyum itu aku terperoksok
kau segera menarik tanganku sebelum tersungkur.
sejak itu derai tawamu membuat hari-hariku tak susut.
tak apa kau berutang dulu, katamu membuat iri
pengunjung warteg lainnya yang lahap. tukang-tukang
dengan duit pas-pasan di dompet lusuh dan robek.
sekarang kau bisa menulis tanpa perut kosong
ujarmu, bau bawang pun goreng segera mengapung
diam-diam aku mencuri senyum dan sipit matanya
tak lagi kuinjak warteg ramah itu
aku memikirkan larik-larik yang bakal mampat
kehilangan dentam-dentum tetabuhan perut.
kata-kata cuma menembus dinding sekat
dengan perut koyak dan pikiran moyak.
atau, tak satu kata perlu ditulis.
9/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar