Rabu, 04 Mei 2016

Lembayung Beku



Lembayung itu beku seperti tak mau berubah
mentari pun diam mengapung di atas cakrawala
laut termangu ombak hilang
hari menutup pintu membisikkan firasat.

Hari kian terik, layar mengatup kuncup perahu tak melaut
tak ada angin barat namun hati seolah terkoyak
seribu sepatu larsa, alat-alat berat, seperti lahar merapi
merubuhkan senyap pantai jadi panas sekarat.

tangis dan caci bak suara chorus mengiringi dinding rubuh
lembayung itu, mentari itu, berduka dalam kerudung awan
tak bisa dipertahankan lagi kecuali luka duka menganga.

"ini bukan tanah kita, tapi hidup ini kami punya,"
di ketinggian rumah susun, laut serupa tenda biru
"pantai indah di mata tapi tak menyapa kaki dan hati kami."


AJ/2016

Ungu



Bola-bola mata terserak
memandang remang di perempatan,
travel light mati, senyap terkatup di bibir
angin menghempas gigil.

tersisa masih kerlip lampu jalan
menghitung putaran roda-roda
serupa zikir membunuh waktu
rintik gerimis yang kian mengulur .

mari percepat ayun langkahmu
menyesap rindu sebelum segala jadi ungu
pasang lagi tatap dan pandang di matamu.

lihat suara-suara bersigegas di perempatan
gumam, bisik, riuh, rintih makin menyesak
senyap menusuk telinga, segala berubah sunyi.

AJ 2016

Merontokkan Karang



Jika Laut Kidul tak merontokkan karang
memukul tebing batu hingga terbantun
tak perlu sebuah cinta yang hanyalah ecek-ecek
tak perlu cumbu, lebih baik mereguk senyap.

Buat apa senyum yang terpantul tanpa api
lebih ceria musim panen di hati ibu tani
lebih baik berbagi riang dengan gemericik kali
dinginnya bikin geli di betis-betis.

Pertemuan dua hati selalu terasa ringkas
seperjalanan mentari terbit dan tenggelam
lalu diam serupa ilalang terpekur pada bulan.

Lantas saling berbagi lambai dan menyerah pada jarak
percaya langkah-langkah menuju ke sebuah arah
hanya hati yang batu selalu menyatu dan tahu.


AJ/2016

Seraut Pasi Perigi



di sini doa-doa menimba beningnya
hening, senyap, serupa cermin yang lirih
doa dan hati saling berhimpit
dalam diam teduh menusuk langit

di sudut-sudut bertabur tujuh pelangi
merayu, mendamba hati tujuh bidari
menarikan tarian awan di atas perigi
di purnama ketujuh doa-doa jadi api

sekuntum kenanga mengapung pasrah
bisik lirih naik dalam harumnya
mengusap lembut senyum si mojang priangan

seraut perigi tergolek damai, musim demi musim
dimanjakan rimbun hijau daun-daun
sepasang pengantin surgawi berumah di dasarnya.

AJ/2016

si Dungu



oh si dungu aku yang jadi tontonan dalam bus kota dan di kafe-kafe
kepadatan, deru dan debu ramai-ramai membekap diriku
ingatku menujumu saat kubaca soneta-soneta cinta Pablo Neruda
engkau Mathilda-ku

lihat, aku lenyap dalam larik-larik yang membelenggu
lihat, aku lesap dalam metafora yang membingung
jadi bagaimana kutulis seratus soneta cinta buatmu, atau
cinta kita tak pernah penuh, kita kurang lekat berkelindan
jadi biarkan aku di sini, jangan seret aku keluar dari buku puisi ini.


AJ/2016

Hari Puisi Internasional



setapak ini tak juga sudah
meski jauhnya di ujung hidung

di tiap jengkal lelah mendesak
bernafas dengan nafasmu, Biyung

di tarian pergumulanmu namaku disebut
dalam sukmamu, Biyung, kurenda langkahku

kukenang cium kasihmu di ubun-ubun.

AJ/2016