Selasa, 16 Agustus 2016

Mengoyak Bayang


Tak lagi darah tertumpah di sini
Tikammu pisau berkarat
Lukaku berubah kelu
Darahku jadi beku.

.
Memang sejak lama tanganmu kosong
Matamu sepasang tikam yang merobek.

.
Di rentang tangan tiada jalan terbentang
Pandangan berkacak mengoyak bayang.


AJ/2016

di pucuk Eiffle


Di pagi dingin ini
Salju di pucuk Eiffle
Secangkir kopi, sepotong rindu
Kutemukan dalam kulkas
Sayang keburu mambu
Seperti bayangmu luntur jadi semu.

.
Kubuang saja wajahmu ke pubel
Ternyata yang kusimpan rindu basi.

.
Lebih baik kopi yang nyata hangat
Di bibirku di dadaku.

.
Au revoir rindumu yang bacin.


AJ/2016

Menanti Kekasih


Menanti kekasih
Waktu mengeluh

.
Kopi bercerita tentang
Panas yang diam-diam pergi

.
Menanti waktu
Kekasih mengeluh

.
Panas kini datang lagi
Dari cangkir yang lain lagi

.
Sepi menyemai ramai
Ramai mengendap senyap
Kekasih yang dinanti
Waktu riuh mencumbu.

.
Kekasih, kau adalah di mana
Biarkan aku berada di entah.


AJ/2016

Berjalan Sendiri


tak pernah percaya sebersit pun
ini senja putus bersama ujung pensil
di tempat sampah dalam remasan kertas
lembayung itu masih di matamu.

.
suara yang dulu juga gemericik
menghitung cahaya di permukaan riak
menyentuh kibas langkah-langkahmu
lampu-lampu kota menari di atas kepalamu.

.
kenapa cerita selalu berjalan sendiri
mereka-reka perpisahan jadi nafasnya
arah yang berlawanan dirancangnya.

.
masih tersisa warna-warna di sini
sebelum melangkah ke ruang pesta
lepaskan saja senyap itu dari dada.

AJ/2016

Menanti Rupa


Aku menanti rupa
Menanti senyum, bahkan Bunda tak memiliki
Menanti binar mata, yang selalu kukuatirkan tersapu lembayung cakrawala
Penantian ini tak pernah punya alamat dan tak meminta.
.
Pada desah sebetik suara kurebahkan seribu kelu
Terdengar kumandang lembut lagu nina bobok
Biarlah kupateri saja mulut ini lalu berserah pada celoteh bibir di sekujur malam.
.
Esok kutemukan di tubuh lentik tersimpan lentur sosok dan gemulai jemari
Tarian kehidupan yang tak henti direnangi seribu duka
Oh, tarian, tetabuhan dan irama begitu lekas mengendap di dasar dadaku.

AJ/2016

Lonceng Bertalu


Segala seperti datang sendiri, bahkan
kata belum sempat menjadi doa
mata masih terkatup menyusun mimpi.
.
Putik yang perlahan menyembul, selalu
atas lambaian rindu matahari
segera berdandan menarikan hari.
.
Lonceng bertalu di bukit-bukit, lirih
memeluk lekuk tubuh gadis pemetik anggur
seperti ciuman yang tak sabar.
.
Irisan keju di dalam roti, menyambut
hangat kopi dan pagi menggelitik
masih ada gelak tawa buat esok.
.
Seperti bangku taman berseloroh, pada
hijau rerumputan dan selembar daun yang diam
semua tercenung memandang biru langit.

AJ/2016

Kita Kembali Sendiri


Kau tak lagi mengulurkan jemarimu, ah,
kapan lagi kutuntun lembut tanganmu
memandang sipit matamu.
.
Pagi ini terasa jarak makin berkeping
angin yang tak bersahabat. Langkah makin gegas.
.
Dingin bertengger di bangku taman
selembar daun yang termangu. Kemerahan.
.
Kau kembali sendiri, di sana
aku juga, di sini.
.
Kita kembali sendiri
di depanmu segelas anggur merah
di tanganku secangkir kopi panas.
.
Wajahmu berkelindan asap rokok
aku terkubur dalam sebuah novel.
.
Kudengar desah dan batukmu
tapi engkau di mana?
.
Aku tak berkata-kata
novel ini mengaduk batok kepalaku.
.
Kita kembali sendiri
aku di sini
engkau entahlah.

AJ/2016

Waktu makin menuai


Langkah menarik garis lurus di bening mata air. Masih ada senyum
di antara kendi-kendi berjajar. Senja yang terus bergerak
meninggalkan celah dahan dan daunan.
Nyanyian burung-burung dan tonggeret pulang ke sarang.

.
Waktu makin memuai, penantian terasa menjauh
tak ada SMS di layar ponsel, tak ada getar dan dering
diam bisu. Hati terus melaju, tanpa layar tanpa angin
tak berharap pada dermaga di penghujung pagi.

.
Belimbing di halaman sudah menguning. Terasa kecut
mengulum mulut. Derai tawa bertalu di antara dahan-dahan
bebuahan. Kita mengira suka cita ini takkan usai.
Lalu segala lesap bertukar lambai di pelukan terakhir.

AJ/2016